30 September 2008

GP Anshor : Banser Gus Nuril Ilegal !

Malik Haromain, Sekjen Gerakan Pemuda Anshor membantah adanya pengerahan massa pihaknya ke PN Jakarta Pusat, Kamis (25/9) lalu, di mana terjadi bentrokan antara AKKBB dengan FPI. Karena itu, jika ada massa yang mengatasnamakan Banser dianggapnya gerakan liar.

Malik menyatakan, GP Anshor tidak pernah menginstruksikan anggotanya untuk berunjukrasa di PN Jakarta Pusat. Sebab, jika mengadakan aksi, GP Anshor selalu memakai surat resmi untuk memobilisasi massa

�GP Anshor masih di bawah kendali ketua umun GP Anshor, tidak ada dibawah atas nama pimpinan Gus Nuril. Dan itu tidak benar. Itu Anshor liar,� tegasnya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Minggu, (28/9).

Karena itu, Malik mengimbau GP Anshor agar tidak terpancing provokasi kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan organisasi underbow Nahdlatul Ulama itu. �Polisi jangan memberikan ruang gerak terhadap AKKBB dan FPI untuk membuka ruang kekerasan,� pungkasnya.

Seperti diketahui, saat itu massa FPI terlibat bentrokan dengan massa AKBB yang mengenakan pakaian bertuliskan �Banser Gus Nuril�. Panglima Pasukan Berani Mati yang membela saat Abdurrahman Wahid akan dilengserkan sebagai Presiden ini, bahkan berencana akan membawa anak buahnya ke Jakarta pada 12 Oktober mendatang.

Alasan Nuril membela M Guntur Romly karena dia merupakan pengurus NU di Mesir sebanyak dua periode. Sehingga, Banser berkewajiban menjaganya dan mengamankan selembar rambutnya pun jangan sampai jatuh.

jamaah An Nadzir Lebaran Hari ini

Ratusan anggota jamaah An Nadzir menggelar salat Idul Fitri di tanah lapang samping perkampungan mereka di desa Mawang, Bontomarannu, Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka mulai bertakbir dan berdatangan di lapangan sejak pukul 05.30 WITA.

Kaum pria An Nadzir mengenakan jubah hitam dipadu sorban yang membalut rambut gondrong dan berwarna pirang. Tak ketinggalan aroma minyak wangi yang disemprot sebelum keluar rumah. Sedangkan kaum muslimahnya dominan menggunakan jilbab panjang dan bercadar.

Pemimpin jamaah An Nadzir Sulsel, Ustadz Lukman A Bakti, didaulat menjadi imam sekaligus khatib. Dalam ceramahnya, Ustadz Lukman menyinggung sifat manusia yang lupa akan rasa takutnya pada Tuhannya. Ia juga menyinggung amalan manusia yang tidak diterima karena tidak sesuai perintah Allah SWT.

"Hewan pun tak pernah lupa mengingat Allah," ucapnya.

Pengikut An Nadzir dari luar Sulsel juga tak mau alpa melaksanakan shalat Id di Kampung Mawang. Seperti Umar dan Adam, adiknya, yang datang dari Medan, Sumatera Utara (Sumut).

Adam mengatakan, ia jauh-jauh datang dari Medan untuk melaksanakan salat Id yang menurutnya sesuai sunnah Rasulullah. Sebelumnya, orang tua mereka telah lebih dulu sampai di Kampung Mawang.

"Sementara waktu ini saya belum punya niat kembali ke Medan, sebelum saya mendapatkan apa yang saya cari di tempat ini," pungkas Adam usai shalat Id.

Gemuruh suara takbir dan tahmid di Masjidil Haram Makkah

Gemuruh suara takbir dan tahmid telah dikumandangkan di Masjidil Haram Makkah sebelum dan setelah shalat Isya Senin (29/9/2008). Tidak ada salat tarawih. Tiadanya pelaksanaan ibadah salat tarawih ini membuktikan bahwa Idul Fitri 1 Syawal 1429 H di Arab Saudi jatuh pada hari Selasa bertepatan tanggal 30 September 2008.

Seluruh stasiun televisi dan radio lokal di Arab Saudi juga telah mengumumkan secara resmi bahwa tanggal 29 September 2008 merupakan akhir bulan Ramdhan 1429. Dengan demikian Selasa 30 September jatuh hari lebaran Idul Fitri 1 Syawal 1429 H.

"Dewan Tertinggi Mahkamah Agung Arab Saudi melakukan sidang itsbat ba'da magrib hari Senin 29 Ramadan 1429 H, telah menentukan bahwa malam Selasa adalah akhir bulan Ramadan 1429 H bertepatan tanggal 29 September 2008 M. Dengan demikian hari Selasa besok bertepatan tanggal 30 September 2008 adalah Idul Fitri 1 Syawal 1429 H". Demikian disiarkan langsung oleh televisi Arab Saudi usai salat Isya, Senin 29 September 2008.

Hadir pada sidang itsbat para anggota Dewan Tertinggi Mahkmah Agung Arab Saudi, Nasir bin Ibrahim Al Habib, Gaihab bin Muhammad Al Gaihab, Muhammad bin Abdullah bin Amir, Muhammad bin Sulaiman Al Badr dan Shaleh bin Muhammad Al Luhaidan.

Ucapan selamat lebaran dan permohonan maaf dari Raja Abdullah bin Abdul Aziz kepada seluruh umat Islam disampaikan oleh Iyad Madani, Menteri Penerangan Arab Saudi usai pengumuman penetapan hari raya Idul Fitri 1429 H di televisi lokal Arab Saudi.

Ketua MPR khatib di Boyolali, JK Hadiri Silaturahmi Politik

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid dijadwalkan menjadi khatib salat Idul Fitri di salah satu masjid di Boyolali, Jawa Tengah, Rabu 1 Oktober besok.

"Nama masjidnya saya lupa," kata humas DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hartono kepada okezone di Jakarta, Selasa (30/9/2008).

Sementara Presiden PKS Tifatul Sembiring dijadwalkan menjadi khatib di Masjid PLN di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Mengenai malam takbiran, Hartono mengungkapkan PKS tidak pernah membudayakan takbir keliling. "Biasanya masing-masing saja," ungkapnya.

Sedangkan Tokoh politik senior seperti Taufik Kiemas (TK) dan Jusuf Kalla (JK) direncanakan akan mengikuti salat Idul Fitri bersama kader muhammadiyah dan organisasi massa Islam lainnya di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan pada 1 Oktober

Selain dua tokoh politik besar tersebut, tokoh lain yang diundang adalah Akbar Tanjung, Soetrisno Bachir, Jimly Asshiddiqie, dan Tanri Abeng.

Bertindak sebagai khatib pada salat ini Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin. Sedangkan imam salat adalah Rhoma Irama.

Meski mengundang beberapa tokoh politik, Koordinator Panitia Pelaksana Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Gunawan Hidayat menolak bahwa salat tersebut sebagai ajang preferensi politik di tengah kampanye politik yang saat ini sedang berlangsung.

29 September 2008

Kutipan terjemahan tulisan dr Tom Heller, mewakili para orang tua dan dokter atau praktisi autisme:

Kutipan terjemahan tulisan dr Tom Heller, mewakili para orang tua dan dokter atau praktisi autisme:

Salah satu tugas saya sehari hari sebagai seorang praktisi atau dokter di Inggris adalah memberikan imunisasi pada bayi dan balita. Tapi belakangan ini saya semakin tidak yakin ketika memberikan vaksinasi kombinasi MMR dan berpikir apakah saya juga harus memberikan vaksinasi ini pada anak-anak saya jika mereka ada pada usia semuda itu.

Sulit bagi saya untuk merasa yakin bahwa vaksin itu aman seperti yang di-umumkan pemerintah. Semakin keras suara para ahli saya merasa semakin ragu akan kebenarannya. Situs Departemen Kesehatan memberikan banyak bukti dan links mengenai vaksin ini hanya menghasilkan satu isu baru yaitu vaksin MMR mempunyai efek samping yang buruk.

Penggunaan bukti klinis secara tidak lengkap juga dikumandangkan oleh para ahli lainnya. Seperti pada Elliman dan Bedford yang menyerang metode riset yang digunakan oleh orang orang yang prihatin terhadap efek samping vaksin MMR. Pada saat yang sama, mereka malah tidak memperhatikan akan bahaya yang terjadi dengan hasil riset yang menyimpulkan bahwa vaksin MMR aman dipakai.

Program NHS mengkhususkan diri dalam memberikan pelayanan dan pengobatan pada masyarakat luas. Tetapi dengan alasan tertentu, ketika mencoba untuk mendiskusikan mengenai masalah vaksinasi MMR, kelihatan sangat dibatasi. Para orang tua menjadi cemas. Dan mereka yang mempunyai anak penyandang autisme menjadi semakin kuatir karena merasa kemungkinan keadaan ini disebabkab oleh vaksinasi.

Sekelompok orang tua lain merasa yakin akan hubungan antara vaksin MMR dan anak mereka dan telah membentuk kelompok dan organisasi untuk meloby. Di Inggris, organisasi ini dikenal dengan nama JABS, Justice, Awareness and Basic support. Ketika beberapa hasil observasi yang dilakukan oleh keluarga yang terkena dampak buruk vaksinasi kemudian di-kategorikan sebagai insiden terisolir, mungkinkah hasil observasi seperti ini dapat dijadikan bukti?

Saya tidak sendirian dalam keprihatinan dan mungkin kebingungan mengenai pemberian vaksinasi MMR. Beberapa penelitian mengenai pemberian vaksinasi MMR dosis kedua telah dilakukan di daerah north Wales dengan hasil menunjukkan hanya 45% profesional yang terdiri dari 54% praktisi atau dokter umum setuju untuk memberikan dosis kedua MMR pada anak. Namun hal ini tidak berpengaruh banyak terhadap jumlah anak yang di-vaksinasi MMR yang secara nasional pada tahun 1994 dan 1995 hanya turun dari 91% ke 88%. Pada tahun 1998 - 1999 dibeberapa daerah terlihat hanya 75%
Saat ini, tidaklah mudah untuk mempertanyakan hal ini pada pemerintah. Contohnya, Andrew Wakefield, penanggung jawab dari beberapa riset yang mempertanyakan mengenai pengembangan vaksin MMR telah di-vonis melakukan penyalah gunaan etika profesional. Mungkin pilihan yang paling mudah adalah dengan menundukkan kepala anda dan tidak membicarakan isu ini.

Kutipan terjemahan tulisan dr Dick Heller, mewakili pemerintah:

Para orang tua sering tidak akurat dalam mengidentifikasikan penyebab dari penyakit mereka. Anekdot atau cerita mengada ada dari seseorang tidak akan dapat berbuat banyak selain hanya menghasilkan sebuah hipotesis yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut secara klinis. Keprihatinan publik terjadi akibat ketidak mampuan untuk mengerti dan meng-ekspresikan bukti-bukti klinis. Yang kita dapati saat ini adalah hipotesis yang berdasarkan anekdot tanpa bukti klinis. Adapun bukti bukti lemah yang ada tidak dapat menunjang hipotesis.

Membandingkan resiko autisme dan resiko pemberian vaksinasi pada anak

Sangat sulit untuk mengerti, mengukur dan mengekspresikan resiko. Angka angka menunjukkan bahwa tiap 100 000 anak terdapat 91 penyandang gangguan spektrum autisme. Jika 15% dari anak-anak ini menjadi penyandang autisme sebagai akibat di-vaksinasi MMR maka sebanyak 7326 anak harus divaksinasi untuk dapat satu anak penyandang autisme. Berapa banyak kasus penyakit mumps , measles dan rubella akan timbul jika anak tidak di-vaksinasi MMR? Bagaimana rate komplikasi ? Sayang sekali, kami tidak mempunyai sistim intelejen yang canggih untuk menyelidiki efek dari perubahan pemberian imunisasi terhadap kesehatan masyarakat. Namun kami tahu bahwa untuk measles saja angka kematian 1 - 2 dari tiap 1000 orang yang terinfeksi di Amerika Serikat dan 1 dari 1000 akan terkena encephalitis beberapa diantaranya akan terkena kerusakan otak permanen. Jika semua anak yang tidak divaksinasi terjangkit measles maka rate komplikasi menyebutkan bahwa penyetopan vaksinasi akan sangat berbahaya - jauh lebih berbahaya dari pada usaha pencegahan insiden timbulnya gangguan autisme.

Dalam memerangi penyakit menular umum seperti yang disarankan oleh pemerintah untuk mendapatkan vaksinasi akan sulit untuk dapat diatasi jika tingkat pemberian imunisasi di suatu komunitas turun dibawah level kritis. Mereka yang bertanggung jawab terhadap kesehatan publik akan mempunyai kepentingan yang sah untuk meningkatkan pemberian vaksinasi.

Secara umum dapat saya katakan tidak terdapat bukti bahwa vaksin MMR dapat menyebabkan autisme dan tidak terdapat cukup bukti pula untuk mengatakan bahwa vaksin MMR tidak menyebabkan autisme. Saya percaya bahwa dengan menyetop vaksinasi pada anak atas dasar hipotesa yang tidak lengkap akan sangat berbahaya

Kutipan tulisan Stephen Pattison menanggapi tulisan dr Tom Heller dan dr Dick Heller:

Beberapa kaum moralis akan berkata bahwa Tom Heller sedang dalam keadaan emosional tapi menurut saya keadaan gundah ini adalah bagian dari tanggung jawab moral. Tom Heller mengaplikasikan apa yang disebut the golden rule untuk menentukan apa yang benar dan apa yang salah ketika ia mengatakan “apakah saya juga harus memberikan vaksinasi ini pada anak-anak saya pada usia semuda itu”. Ia juga menyuarakan pendapat pemerintah dengan mengatakan bahwa pemberian vaksinasi MMR itu aman. Dan juga bagaimana keraguannya semakin tinggi yang mana bertolak belakang dengan kebanyakan ahli.

Pertanyaannya adalah bagaimana rekan kerja Tom Heller, para dokter umum dan masyarakat awam, dengan segala keterbatasan pengetahuan-nya dapat mengambil manfaat dan dapat hidup dengan kenyataan yang ada tanpa harus mengabaikan pentingnya kesehatan masyarakat?

Walaupun ilmuwan dan peneliti hidup dalam paradigma rasional dan serba korelatif sedangkan masyarakat awam termasuk dokter mempunyai pandangan yang lebih kompleks sehingga dilihat dari kaca mata kaum rasional, pengetahuan komposit masyarakat awam sering terlihat sebagai suatu yang tidak rasional dan suatu yang gaib sehingga harus di-buang dan dihilangkan.

Anda tidak dapat membatasi pengetahuan orang lain bahkan ketika anda sendiri ragu akan kemampuan ilmu pengetahuannya. Membuat keputusan untuk tidak memberikan vaksinasi adalah suatu dilema moral bagi orang tua dan ini haruslah dihormati. Melecehkan dilema moral orang lain tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Kini telah terjadi krisis kepercayaan terhadap penilaian teknis vaksinasi MMR dan juga krisis untuk dapat saling menghargai. Perlu dibuat suatu keputusan untuk mendapatkan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan demi untuk menegakkan kenyataan yang sebenarnya. Untuk melaksanakan ini pihak ilmuwan agar tidak menanggapi ketakutan dan kekuatiran sebagai bentuk ketidak pedulian dan kemudian berusaha menghancurkannya dengan menggunakan instrumen rasional mereka.

Dalam hal ini telah terjadi ketidak seimbangan antara resiko dan kekuasaan. Pihak pemerintah menentukan strategi risk management untuk menghadapi penyakit mumps, measles dan rubella. Sedangkan para dokter dan orang tua sebagai pelaksana strategi ini harus menghadapi segala konsekuensinya. Isu vaksinasi MMR ini sempat membuat kami prihatin akan etika klinis dan pelayanan publik yang responsif dan berguna. Kami akan mencoba untuk mencari bentuk ideal dari bukti-bukti klinis yang dapat diterima baik oleh masyarakat maupun oleh individu yang menggangap hal tersebut sensitif.

Kutipan tanggapan dr Tom Heller mengenai tulisan Stephen Pattison:

Saya merasa telah menjalani suatu proses yang mirip dengan apa yang dialami para orang tua pada saat mereka memutuskan untuk memberikan vaksinasi pada anak mereka. Saya akan terus mencari untuk dapat mengerti mengenai hal ini. Tentunya, saya sangat menghargai pendapat pihak penguasa yang menyimpulkan bahwa MMR adalah aman untuk diberikan pada anak, akan tetapi keragu raguan tetap melekat pada saya seperti juga ada pada banyak orang lain.

Kesimpulan akhir saya adalah : ” Penolakan haruslah tetap menjadi pilihan yang dapat diterima di alam demokrasi yang bebas. Budaya berpendapat terkecuali yang berhubungan dengan agama dan filsafat haruslah tetap dilestarikan. Hal yang paling sulit adalah menciptakan keseimbangan antara hak suatu negara untuk mengontrol penyakit menular dan hak individual serta masyarakat awam untuk memilih.

Referensi:
FEAT Daily Newsletter dan British Medical Journal online
How Safe is MMR Vaccine - Tom Heller, general practioner, School of Health and Social Welfare at the Open University, Milton Keynes UK
Validity of Evidence - Professor of Public Health. Evidence for Population Health Unit, School of Epidemiology and Health Sciences, Medical School, University of Manchester, UK
Dealing with Uncertainty - Stephen Pattison, Head Department of Religious and Theological Studies, Cardiff University.

——————————————————————————
Puterakembara menyajikan terjemahan tulisan ini adalah sehubungan dengan pertanyaan dari salah satu orang tua mengenai vaksinasi MMR. Kami berusaha untuk memberikan informasi secara netral dan se-akurat mungkin. Puterakembara tidak bertanggung jawab atas isi artikel maupun kesalahan dalam menterjemahkan artikel tersebut kedalam bahasa Indonesia.

Artikel diatas hanya dapat digunakan sebagai informasi atau sekedar untuk menambah pengetahuan. Informasi yang ada dalam artikel ini tidak dapat digunakan untuk menggantikan advis dokter atau pengobatan dan terapi yang hanya dapat dilakukan oleh dokter ahli / praktisi profesional di-bidang imunisasi ataupun kelainan spektrum autisme.

KONSEP IMUNISASI HALAL

KONSEP IMUNISASI HALAL HALALAN THAYYIBAN

1. Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang memaksimalkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia.

2. Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang meminimalkan dan menghilangkan zat yang bersifat menurunkan kerja sistem imun atau kekebalan tubuh manusia.

3. Menjauhkan dan menghentikan asupan nutrisi yang bersifat menurunkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia.

4. Tidak memberikan vaksinasi yang mengandung Toksin/Racun bahan berbahaya yang menjadi ancaman kesehatan manusia.
a. Kimiawi Sintetis
b. Logam Berat (Heavy Metal)
c. Hasil Metaboit parsial
d. Toksin Bakteri
e. Komponen dinding sel

5. Tidak memberikan vaksinasi dan obat-obatan yang mengandung bahan yang haram secara syari’at.
a. Alkohol dan turunannya, yang bersifat seperti alkohol, yaitu yang apabila dikonsumsi secara banyak akan memabukkan.
b. Tidak mengandung Darah, daging Babi, dan hewan yang ketika disembelih tidak menyebutkan nama Allah.
c. Tidak daging yang diharamkan menurut syari’at, contoh: Binatang Buas, Bertaring, bangkai dll.
d. Tidak dikembangbiakkan di dalam darah hewan apapun, daging babi, dan di dalam makhluk hidup yang diharamkan menurut syari’at.

6. Membiasakan untuk mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifat membangun sistem kekebalan tubuh manusia.

7. Membiasakan untuk tidak mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifat menururnkan sistem kekebalan tubuh manusia. (Diambil dari www imunisasi halal.com)

KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK MEMBAWA SINTABELA KE DINKES BEKASI

Metrotvnews.com, Bekasi: Komisi Nasional Perlindungan Anak mempertemukan keluarga Sintabelaa dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (15/8). Sinta mengalami lumpuh setelah menerima imunisasi pada November 2005 dari Dinkes Bekasi. Selama sembilan bulan lumpuh, Sinta tidak mendapat perhatian dari pihak sekolah dan Dinkes Bekasi. Seluruh biaya perawatan Sinta sepenuhnya juga ditanggung keluarga.

Ironisnya, saat dipertemukan dengan keluarga Sinta, Dinkes Bekasi menyatakan, kelumpuhan Sinta masih harus dideteksi, terkait imunisasi yang dilakukan di sekolah atau tidak. Dinkes Bekasi berjanji akan menindaklanjuti kasus Sinta, Rabu ini. Selain itu, Sinta juga akan diberikan kursi roda untuk alat bantu berjalan dan bantuan pengobatan gratis untuk mendeteksi penyakitnya.(DEN)

KIPI - Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

Sebagai bentuk respon atas temuan Polio, adanya kesakitan dan kematian yang diduga terkait dengan Mopping-up putaran pertama, serta pelaksanaan Mopping-up putaran kedua, Komite Nasional Penanggulangan & Pengkajian Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KOMNAS PP KIPI) mengeluarkan pernyataan sikap dan rekomendasi sebagai berikut.
Rekomendasi KOMNAS PP KIPI
Mengenai Imunisasi Polio dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Virus Polio Liar di Indonesia
Kami anggota KOMNAS PP KIPI yang terdiri dari para ahli dari ilmuwan kedokteran, farmasi, dan kesehatan masyarakat yang berasal dari organisasi profesi kedokteran, institusi pendidikan tinggi dan praktisi di bidang imunisasi sebagai pencegahan penyakit menular, telah mengadakan diskusi yang mendalam dengan seluruh anggota KOMNAS PP KIPI bersama KOMDA PP KIPI Jabar , DKI, dan Banten.
Kami telah melakukan pengumpulan data primer di lapangan yang langsung mencakup tempat tinggal penderita di daerah yang terkena penykait Polio maupun lumpuh layuih akut, pengumpulan data sekunder dari semua pihak (orang tua, masyarakat, dan pemerintah daaerah) yang terlibat dalam pelaksanaan program imunisasi Mopping-up Polio putaran pertama di 3 propinsi yaitu ; Jabar, DKI dan Banten. Dilanjutkan dengan diskusi mendalam dengan para ahli dari WHO Representative for Indonesia, WHO-SEARO, dan WHO Head Quarter, serta melakukan telaah literature mutahir dan melakukan kaji ulang yang mendalam pada rapat pleno KOMNAS PP KIPI di Jakarta tanggal 5, 7 dan 8 Juni 2005, untuk menghadapi maraknya isu Polio dan upaya pemberantasannya serta kajian beberapa kejadian ikutan pasca imunisasi Polio yang akhir-akhir ini banyak dimuat oleh media massa cetak dan elektronik.
Maka dengan tulus ikhlas dan niat teramat baik kami menyampaikan butir-butir sebagai berikut ;
1. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang merupakan investais dasar bagi individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam pembangunan nasional yang telah eksplisit tercantum dalam UUD dan pelbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Namun upaya pencegahan Penyakit menular juga merupakan kewajiban utama pemerintah yang dijamin oleh UUD dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai unsur utama dalam melindungi dan mensejahterakan masyarakat di masa kini dan mendatang.
2. Dalam rangka upaya penyelamatan nyawa rakyat dan ancaman hilangnya generasi bermutu penerus bangsa yang terjangkit Penyakit menular sehingga kondisi fisik, mental dan sosial mereka makin memerlukan uluran tangan bersama pemerintah dan masyarakat, kebijakan pemerintah yang telah melakukan upaya sebagai berikut
1. Menetapkan kejadian Infeksi virus Polio liar ini sebagai kejadian Luar Biasa (KLB) yang secara klinis ditandai dengan ditemukannya penyakit secara hampir serentak bergejala lumpuh layuh
2. Melakukan surveillans secara akurat
3. Bertindak transparan dalam mengungkapkan data secara apa adanya
4. Melakukan Moppin-up vaksinasi Polio di tiga propinsi ; Jabar, DKI dan Banten
5. Memberikan penjelasan semaksimal mungkin melalui jalur media massa
6. Menetapkan tanggal bersama dilakukannya imunisasi Mopping-up Polio
7. Melakukan persiapan imunisasi missal Mopping-up Polio putaran kedua di tiga propinsi
8. Melaksanakan imunisasi massal Mopping-up Polio putaran pertama dengan cakupan Jabar 4.496.333, DKI 923.029, dan Banten 1.096.987 balita
9. Memantau setiap kejadian KIPI di Puskesmas dan Rumah Sakit rujukan
10. Melayani semua kasus KIPI secara gratis
11. Meneliti semua kasus KIPI secara cermat, hati-hati sesuai dengan kondisi dan indikasi mediknya berdasarkan standard pelayanan medik yang berlaku
12. Mengkaji semua kasus secara serentak sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan, kaidah klarifikasi lapangan yang ditetapkan WHO-PAHO serta kaidah kausalitas yang ditetapkan oleh Institute of medicine (IOM) yang telah diakui oleh dunia
3. Menerima asupan dari berbagai pihak tentang imunisasi dan KIPI
Maka bersama ini kami menyampaiakan hal-hal sebagai berikut
A. Tentang Klinis Penyakit lumpuh layuh akut dan Polio
1. Merasa prihatin atas kejadian yang menimpa anak bangsa, namun telah berupaya kuat untuk melakukan tindakan secara bijak sesuai kaidah ilmu pengetahuan dan HAM yang universal
2. Tidak semua kasus lumpuh layuh akut adalah Polio
3. Diagnosis Polio harus ditegakkan secara akurat dan merujuk pada pedoman diagnosis Penyakit Poliomyelitis
4. Sarana dan Ahli untuk menegakkan diagnosis Polio (secara pemerikasaan laboratorium) di Indonesia telah diakui Depkes, Badan POM dan sesuai standard universal dan hasilnya telah dilakukan cross-check oleh pakar independen WHO di Mumbai, India
5. Jumlah kasus Polio sangat sedikit dibandingkan dengan kasus lumpuh layuh akut
6. Mendukung semua pernyataan yang dikeluarkan oleh Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
B. Tentang Imunisasi Polio
1. Imunisasi Polio merupakan keharusan dalam menghadapi KLB virus Polio Liar
2. Penunaian perlindungan, penghormatan dan penunaian tugas HAM rakyat Indonesia yang belum/tidak sakit namun sangat mungkin untuk tertular oleh Polio sebagai salah satu Penyakit lumpuh layu akut sangat membahayakan
3. Tidak ada bahaya apabila imunisasi Polio diberikan berlebih
4. Imunisasi Polio pada saat KLB harus diberikan dalam satu waktu yang bersamaan karena merupakan golden-standard internasional untuk pemberantasan virus Polio liar hingga tuntas
5. Imunisasi Polio aman diberikan
C. Tentang vaksin Polio yang dipergunakan dalam imunisasi Polio
1. Vaksin Bio Farma tetap valid sesuai dengan rekomendasi badan POM mengenai izin edar vaksin
2. Aman dan terbukti diakui secara internasional, dan telah berhasil menyelamatkan anak bangsa terhadap serangan virus Polio sejak sepuluh tahun yang lalu
3. Tidak ada upaya menutup-nutupi dari pihak pemerintah dalam upaya melindungi rakyatnya
D. Tentang KIPI
1.
1. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) merupakan factor risiko yang selalu ada pada setiap tindakan medik imunisasi Polio namun dari pengalaman jumlahnya sangat kecil (1:2-6 juta dosis)
2. Risiko tersebut telah terantisipasi dengan baik dalam bentuk sosialisasi prosedur penyaringan terhadap kontra indikasi vaksinasi, pelatihan juru imunisasi dan kader, pembuatan standar nasional penanggulangan KIPI, penyiapan Rumah sakit rujukan
3. Telah dilakukan audit multidisipliner KIPI terhadap 18 kasus oleh KOMDA PP KIPI Jabar yang diverivikasi oleh KOMNAS PP KIPI dengan hasil sesuai dengan klasifikasi lapangan semua kasus terjadi secara ko-insidental yakni pada saat diimunisasi kasus tersebut diduga telah menderita Penyakit lain dan bukan karena imunisasi Polio atau vaksin Polio
Dari kajian tersebut, maka KOMNAS PP KIPI merekomendasikan hasil sebagai berikut :
1.
1. Bahwa KIPI yang terjadi pasca Imunisasi Mopping-up Polio putaran pertama bukan karena imunisasi, namun disebabkan akibat lain yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan imunisasi Polio atau vaksin Polio
2. Bahwa imunisasi Mopping-up Polio putaran kedua tanggal 28 Juni 2005 dapat tetap dilaksanakan
3. Bahwa mis-komunikasi antara pelaksana dengan masyarakat yang diduga mengalami KIPI harus diselesaikan secara arif dan bijak
Jakarta 20 Juni 2005
Ketua KOMNAS PP KIPI
Prof. Dr. dr. Sri Rezeki S Hadinegoro Sp.A (K)
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Definisi KIPI
Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI (KN PP KIPI), KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsure vaksin dengan latar belakang genetic. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsure lain yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).
Etiologi
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu unutk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai:
1. besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu
2. sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
3. derajat sakit resipien
4. apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti
5. apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur
KN PP KIPI membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:
1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
1.
• Dosis antigen (terlalu banyak)
• Lokasi dan cara menyuntik
• Sterilisasi semprit dan jarum suntik
• Jarum bekas pakai
• Tindakan aseptik dan antiseptik
• Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
• Penyimpanan vaksin
• Pemakaian sisa vaksin
• Jenis dan jumlah pelarut vaksin
• Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
1. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
1. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
1. Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
1. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.
Gejala Klinis KIPI
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.
Reaksi KIPI Gejala KIPI
Lokal Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis, BCG-itis
SSP Kelumpuhan akut
Ensefalopati
Ensefalitis
Meningitis
Kejang
Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema
Reaksi anafilaksis
Syok anafilaksis
Artralgia
Demam tinggi >38,5°C
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
Menangis menjerit yang terus menerus (3jam)
Sindrom syok septik
Dikutip dari RT Chen, 1999
Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis.
Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI
Toksoid Tetanus (DPT, DT, TT) Syok anafilaksis
Neuritis brakhial
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
2-18 hari
tidak tercatat
Pertusis whole cell (DPwT) Syok anafilaksis
Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
72 jam
tidak tercatat
Campak Syok anafilaksis
Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
5-15 hari
tidak tercatat
Trombositopenia
Klinis campak pada resipien imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 7-30 hari
6 bulan
tidak tercatat
Polio hidup (OPV) Polio paralisis
Polio paralisis pada resipien imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 30 hari
6 bulan
Hepatitis B Syok anafilaksis
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
tidak tercatat
BCG BCG-itis 4-6 minggu
Dikutip dengan modifikasi dari RT Chen, 1999
Angka Kejadian KIPI
KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.
Imunisasi Pada Kelompok Resiko
Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok resiko adalah:
1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu
Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP KIPI dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk penanganan segera
1. Bayi berat lahir rendah
Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah:
a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dar pada bayi cukup bulab
b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan; imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2 bulan atau lebih kecuali bila ibu mengandung HbsAg
c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja
1. Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.
1. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin
Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.
Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi
Pada umumnya tidak terdapat indikasi kontra imunisasi untuk individu sehat kecuali untuk kelompok resiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu terdapat petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta perhatian khusus terhadap vaksin. Petunjuk ini harus dibaca oleh setiap pelaksana vaksinasi. (cfs/pedoman tata laksana medik KIPI bagi petugas kesehatan)

Kasus Sinta Bela Digolongkan KIPI

BEKASI, KOMPAS–Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi menggolongkan peristiwa lumpuhnya Sinta Bela (9), siswi Madrasah Ibtidaiyah Al Huda, Jatimulya, Kabupaten Bekasi, adalah kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI).

Untuk itu biaya pemeriksaan dan pengobatan Sinta Bela digratiskan. Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi juga akan mengupayakan kursi roda sehingga Sinta dapat beraktifitas dan kembali bersekolah secara mandiri.

Demikian dikatakan Kepala Bidang P2PL Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi dr Herry Fattah dalam jumpa pers di Kantor Komnas Perlindungan Anak, Jakarta, Selasa (15/8) siang.

Dalam jumpa pers yang difasilitasi Sekjen Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, hadir pula Sinta Bela bersama orang tuanya dan Kepala Puskesmas Jatimulya drg Julita Emilia Payung.

Sinta secara tiba-tiba mengalami kelumpuhan setelah bocah perempuan itu mendapat suntikan antitetanus di sekolahnya bulan November 2005. Orang tua Sinta berkeyakinan putri mereka lumpuh akibat mendapat suntikan itu.

Orangtua Sinta sudah mengupayakan pengobatan bagi putrinya itu. Sebanyak empat rumah sakit sudah didatangi. Namun, jangankan sembuh, penyakit Sinta pun tak diketahui penyebabnya sampai sekarang.

Orangtua Sinta melaporkan kasus putrinya itu ke Polres Bekasi bulan Mei 2006 dan beberapa waktu lalu, mengadukan pula ke Komnas Perlindungan Anak.

Terkait upaya mencari tahu penyebab kelumpuhan Sinta, kata Herry dalam jumpa pers itu, Dinas Kesehatan juga akan mengambil contoh spesimen berupa sampel darah dan kotoran Sinta untuk diperiksa.

Kasubdin Pendidikan dan Dinas Kesehatan Subang Kurang Respon atas Kematian Bocah SD Pasca Imunisasi

03-Des-2007, 11:23:49 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia – Kepala Sub Dinas Pendidikan (Kasubdin) TK/SD Kabupaten Subang, Kusdinar kurang peduli terhadap siswa sekolah dasar (SD) Cintawinaya Desa Salamjaya Kecamatan Pabuaran yang menjadi korban tewas pasca Imunisasi.

Kurang pedulinya Kasubdin muncul ketika dikonfirmasi RAKA melalui telepon selulernya, Kusdinar tidak memberikan komentar atas pertanyaan wartawan dengan tewasnya Erna Arwati Binti Taman (6) siswa kelas I SDN Cintawinaya Desa Salamjaya Kecamatan Pabuaran, warga Bakan Cingcau Rt.29/12 Desa Pringkasap Kecamatan Pabuaran. Saat itu Kusdinar menyarankan kepada RAKA agar mengklarifikasi kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Subang. “Coba klarifikasi ke Dinkes,” ucap Kusdinar.

Ucapan Kasubdin TK/SD Kabupaten Subang tersebut bukanlah jawaban yang diharapkan RAKA bahkan mungkin oleh semua pihak, soalnya nasib sial yang menimpa Erna Arwati siswa kelas I SDN Cintawinaya, Ketua RT, Kadus dan Aparat Desa Pringkasap semestinya pihak sekolah maupun dinas pendidikan memeberikan perhatian dan ditangani secara serius baik oleh sekolah maupun tim pelaksana Imunisasi dan dinas kesehatan Kabupaten Subang.

“Erna Arwati bicah kecil yang menjadi korban tewas pasca Imunisasi tidak mendapat perhatian serius baik dari pihak Dinkes maupun dinas Pendidikan Subang, bahkan pihak sekolah pun kurang respon adanya kejadian tersebut,” ujar Ketua RT 29/12, Enay dan Kepala Dusun (Kadus) Bakan Cingcau, Tarim.

Karena pihak terkait kurang respon terjadinya korban tewas pasca Iminisasia yang menimpa warganya Ketua RT dan Kadus mendatangi kantor Desa Pringkasap dan pihak Desa mengundang salah seorang dokter Puskesmas Pringkasap, dr.Elan, salah seorang dokter yang ikut terlibat menangani Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Terlihat kekecewaan Ketua RT dan Kadus ketika mendatangi kantor Desa Pringkasap Kepala Desa Pringkasap tidak berada ditempat dan luapan kemarahannya tertuju kepada dr.Elan yang datang kekantor Desa langsung memberikan keterangan kepada Ketua RT, Kadus dan aparat Desa dipantau RAKA. Pada pertemuan tersebut terjadi perdebatan antara dr.Elan dan aparat Desa, Ketua RT dan Kadus dipicu pembelaan dr.Elan yang dinilai tidak mau disalahkan atas tewasnya Erna.

Menurut dr. Elan tewasnya Erna tidak ada hubungannya dengan Imunisasi namun karena ada penyakit penyerta muncul pasca Imunisasi, sebab sebelum Imunisasi Erna mengalami sakit batuk dan sakit panas sembuh setelah diobati dengan obat warung kemudian ketika Erna disuntik Imunisasi (Sabtu,24/11) dalam keadaan sehat.

“Jelas sekali tim Imunisasi Puskesmas Pringkasap tidak melakukan kesalahan pada saat Imunisasi, Erna dalam keadaan sehat, tidak terjadi ketakutan yang berlebihan sebelum dan setelah disuntik. Erna sehat-sehat saja. Adapun terjadi panas itu merupakan reaksi obat suntik pada Imunisasi,” jelas dr. Elan.

Ketua RT 29/12 Keboncau, Enay, membantah keras atas pengakuan dr. Elan bahwa Erna ketika disuntik tidak terjadi ketakutan yang berlebihan, sebab ketika dirinya mengkonfirmasikan kepada kakak dan orang tua Erna, bahwa Erna ketika akan disuntik terjadi ketakutan lari dari ruangan kelas mendekati dan merangkul kakaknya bernama Laela murid kelas V di sekolah yang sama.

“Kata Kakak dan orang tua Erna, saat akan disuntik Erna merangkul kakaknya menolak untuk disuntik, dan bahkan ketakutan Erna tampak menggigil dan takut untuk disuntik. Ketika Erna diraih oleh guru kelasnya kakak Erna tidak kuasa untuk menahan adiknya dan Erna dibawa ke kelas oleh guru kelasnya seperti dipaksa di suntik Imunisasi,” ujar Enay.

Masih kata Enay, pasca Imunisasi dirinya mendapat laporan dari orang tua Erna, Taman, bahwa Erna mengalami sakit panas yang hebat, muntah-muntah dan menggigil serta seperti ketakutan ketika menghadapi orang yang tidak dikenal. Sepengetahuan Enay, kejadian seperti itu baru pertama kali dialami Erna karena sakit sebelumnya tidak terjadi sakit yang berlebihan.

“Memang Erna pernah sakit batuk dan panas, namun cukup diobati dengan obat warung sembuh, dan ketika panas tidak terjadi ada rasa takut, mengigau dan kejang-kejang. Saya menilai kondisi Erna seperti itu terjadi setelah di Imunisasi di sekolahnya dan saya sebagai Ketua RT berkewajiban untuk mengurusi atas tewasnya Erna dampak dari Imunisasi dan pihak-pihak yang berwenang untuk mempertanggungjawabkan atas kejadian tersebut,” tegas Enay.

Mendapat teguran keras seperti itu, dr. Elan bersikukuh memberikan keterangan pembelaan kepada Ketua RT, Kadus dan aparat Desa Pringkasap bahkan demikian pula terhadap wartawan, menurutnya kematian Erna tidak ada hubungannya dengan Imunisasi.

“Bapak-bapak harus mengerti bahwa pihak kami hanya melakukan tugas Imunisasi atas program rutin pemerintah, sekali lagi kematian Erna tidak ada hubungannya dengan Imunisasi,” terang dr. Elan yang terkesan membela diri.

Kesekian kalinya dr. Elan memberikan keterangan pembelaan diri kepada aparat Desa, bikin marah Kadus Bakan Cingcau, Tarim, karena menurutnya pihak Puskesmas Pringkasap harus bertanggungjawab tewasnya Erna, apapun pembelaan pihak Puskesmas merupakan pembelaan yang tidak bertanggungjawab.

“Timbulnya sakit Erna separah itu dan menimbulkan kematian Erna, sebab musababnya setelah di Imunisasi, boleh saja pihak Puskesmas memberikan jawaban pembelaan namun kebenarannya nanti setelah ada di pihak kepolisian,” ancam Tarim.

Kepada wartawan, ketua RT dan Kadus Bakan Cingcau kemarahan dan kepeduliannya timbul karena pasca Imunisasi terjadi sakit berkelanjutan yang dialami Erna tidak dipantau secara intensif oleh pihak Puskesmas Pringkasap. Hal itu diketahui, sambung Kadus Tarim, ketika dirinya menanyai orang tua Erna, pasca Imunisasi timbul sakit panas yang berkelanjutan orang tua Erna melakukan pengobatan Erna harus berlari-lari kecil sendiri tanpa mendapat respon yang serius dari pihak Puskesmas Pringkasap.

“Padahal orang tua Erna pertama kali berobat kepada Kepala Puskesmas Pringkasap, Bidan Maryam. Dan bidan Maryam tahu bahwa sakitnya Erna pasca Imunisasi, namun bidan Maryam tidak melakukan antisipasi dengan cepat dan terkesan membiarkan, hingga Erna mengalami panas yang memuncak, pihak Puskesmas Paringkasap tidak juga melakukan upaya yang optimal hingga Erna meninggal,” tegas Kadus Tarim.

Sementara Kepala Desa Pringkasap, Aji Darki Sopandi yang disebut-sebut sebagai penengah musyawarah antara keluarga korban dan pihak Puskesmas Pringkasap ketika akan ditemui wartawan tidak berada di kantornya, menurut salah seorang bawahannya bahwa Kepala Desa sedang ada keperluan keluar,” Kepala Desa sedang rapat di Desa Kedawung Kecamatan Pabuaran,” ujar salah seorang juru tulis Desa Pringkasap. (pirdaus).

IMUNISASI DI SEKOLAH TELAN KORBAN - Suci Jadi Lumpuh Setelah Diimunisasi

PEKANBARU (RiauInfo) - Imunisasi membabi buta yang dilakukan Dinas Kesehatan (Diskes) Pekanbaru di sekolah-sekolah akhirnya menelan korban juga. Suci Guntari (6) siswa Kelas 1 SD 017 Bukitraya Pekanbaru mengalami kelumpuhan setelah mengikuti imunisasi di sekolahnya.

Imunisasi itu sendiri terjadi 15 Februari lalu saat pihak Diskes Pekanbaru melakukan imunisasi di SD 017 Bukitraya tersebut. Pelaksanaan imunisasi itu sendiri tanpa pemberitahuan kepada para orangtua murid.

Malam sebelum imunisasi itu, Susi memang mengalami sedikit demam panas. Tapi karena kondisinya tidak parah, paginya dia tetap pergi ke sekolah seperti biasa. Kebetulan pada hari itu ada program imunisasi yang dilakukan Diskes Pekanbaru di sekolahnya.

Demi mengikuti aturan sekolah, Suci pun mengikuti program tersebut. Malany baginya, habis disuntik imunisasi, tubuhnya terasa semakin melemah. Namun kondisi itu kurang dihiraukannya, sehingga tidak dilaporkannya kepada guru.

Tapi sewaktu sudah pulang ke rumah, sekitar pukul 15.30 Wib, tiba-tiba tubuhnya kejang-kejang dan mulutnya mengeluarkan bisa serta mata membelalak. Atas inisiatif tetangga diapun dilarikan ke rumah sakit Awal Bross.

Meski telah mendapatkan perawatan intensif kondisi Suci tetap memburuk. Bahkan sebelah tubuhnya kemudian tidak bisa digerakkan lagi. “Pihak rumah sakit sampai sekarang tidak memberitahukan penyakit apa yang diderita anak kami,” ungkap Anto (39) ayah korban.

Anto sendiri tidak bisa menerima kondisi anaknya yang sekarang sudah lumpuh tersebut. Dia merasa yakin kondisi tersebut disebabkan oleh imunisasi yang diberikan kepada anaknya.

Namun Anto belum bisa memastikan apakah nantinya akan menuntut pihak sekolah dan Diskes Pekanbaru. “Yang jelas kondisi anak saya saat ini sangat menyedihkan. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa,” ujarnya sedih.(Ad)

IMUNISASI BISA BERDAMPAK NEGATIF

PEKANBARU (RiauInfo) - Pihak Dinas Kesehatan (Diskes) Riau mengakui imunisasi untuk perorangan berupa suntikan bisa berdampak negatif, seperti terjadinya elergi, skunder infeksi, pendarahan yang sulit dihentikan dan sebagainya.
Di kalangan kedokterkan hal tersebut diistilahkan sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Namun selama ini persentase kejadian KIPI tersebut sangat kecil.
Kepala Sub Dinas Pelayanan Kesehatan dan Gizi Diskes Riau, drg Buharnuddin Agung MM dalam keterangannya di Pekanbaru mengatakan, KIPI bukan suatu kejadian yang harus ada pada pelaksanaan imunisasi.
Menurut dia, dari sekian ribu orang yang mendapatkan imunisasi, ada yang terjadi demikian. “Ini merupakan hal manusiawi di dalam kehidupan dan pelayanan kesehatan kita,” ungkapnya lagi.
Namun demikian, dia minta masyarakat untuk tidak khawatir karena petugas yang melakukan imunisasi sudah terlatih. Jika nantinya muncul sesuatu yang tidak diinginbkan karena kesalahan petugas, akan ada tindakan dari tim.
Di Riau sendiri sudah ada Komda KIPI yang timnya terdiri dari dokter-dokter ahli. “Makanya kepada masyarakat agar segera melaporkan ke Komda KIPI bila terjadi hal-hal yang tidak diingini setelah imunisasi,” ungkapnya.(Ad)

Ilham Lumpuh Setelah Disuntik Vaksin

Liputan6.com, Banda Aceh: Petaka yang diderita Ilham Fauzi, bocah berusia sembilan tahun, terjadi enam tahun silam. Saat itu, ia menderita sakit panas dan harus disuntik vaksin oleh dokter Rumah Sakit Umum Cut Mutia, Lhokseumawe, Banda Aceh. Namun setelah disuntik, Ilham malah tak bisa jalan.

Menurut Bahktiar, orang tua Ilham, baru-baru ini, saat berusia tiga tahun, anaknya menerima dua suntikan vaksinasi di bagian paha. Bahktiar menegaskan, setelah menerima suntikan, sakit panas Ilham tak kunjung reda tetapi justru membuat dia tak bisa jalan. Bahkan, hingga kini, usaha Bahktiar untuk menyembuhkan anaknya belum membuahkan hasil. Padahal, Bahktiar telah membawa Ilham ke berbagai dokter dan tabib.

Sementara itu, Supardi, dokter RS Cut Mutia, membantah kenyataan itu. Menurut Supardi, kelumpuhan Ilham bukan karena suntikan vaksinasi. Tetapi, lebih disebabkan gizi buruk dan pembengkakan sendi. Namun demikian, untuk meringankan beban Bahktiar, RS Cut Mutia bersedia membebaskan biaya penginapan dan perawatan jika Ilham kembali dirawat. Selain itu, RS Cut Mutia juga bersedia menanggung separuh biaya dari keseluruhan biaya obat-obatan yang dibutuhkan Ilham.(ICH/Muktarudin Yakub dan Muhamad Nasir)

Enam Orang Tewas Setelah Diberi Antibodi

BEIJING - Enam orang dilaporkan tewas setelah disuntik antibodi di sebuah rumah sakit Universitas di China. Kasus terakhir yang sama, korban tewas akibat kesalahan dari obat-obatan tersebut.

“Enam orang tewas antara 22 hingga 28 Mei setelah diberikan antibodi berupa imunisasi globulin,” kata, Yu, jurubicara di RS Universitas Nanchang di Provinsi Jiangxi, seperti dikutip Associated Press, Senin (2/6/2008).

Pihak rumah sakit mengaku akan meminta pertanggungjawaban dari produsen obat tersebut. Namun sayang, mereka menolak untuk memberitahukan siapa produsen obat yang mengakibatkan enam orang tewas itu.

Sementara itu Jurubicara Badan Pengawas Obat dan Makanan, Huang Fu membenarkan ada enam orang yang tewas tersebut. Tapi, saat ini pihaknya sedang melakukan investigasi dan membawa contoh obat untuk dilakukan penelitian.

Glubolin adalah antibodi yang diberikan untuk melawan penyakit seperti Hepatitis A dan gigitan anjing seperti rabies. (ahm)

Diimunisasi, Balita Tewas Mengenaskan

WONOGIRI - Reza Pratama (50 hari), seorang bocah di Dusun Poncol RT 02/RW VII Desa Jeporo Kecamatan Jatipurno Kabupaten Wonogiri, meninggal setelah menerima imunisasi di Puskesmas Jatipurno.

Putra pertama pasangan Yuli (21) dan Ririn Handayani (23) ini, mengalami pendarahan terus-menerus setelah menerima tusukan jarum imunisasi di lengan dan pahanya.

Korban adalah cucu pertama Kepala Dusun Poncol Ny Katinah Sunardi. Jenazahnya dimakamkan di kuburan Poncol, Kamis malam (31/3) pukul 22.00, setelah nyawanya gagal diselamatkan oleh tim medis RSUD Wonogiri.

Menurut penuturan kakeknya, Sunardi, Reza sebelumnya dalam keadaan segar bugar. Dia lahir di Jakarta dan ketika berumur empat hari dibawa ibunya pulang ke Dusun Ploso. Ayahnya, Yuli, sampai sekarang masih berada di Jakarta bekerja sebagai petugas keamanan sebuah pusat perbelanjaan di Ibu Kota.

Ibu korban, Ririn, Jumat (31/3), terlihat shock dan dirundung duka mendalam. Wajar saja, lantaran mendiang merupakan putra pertama pasangan yang baru beberapa tahun menikah itu.

Meski demikian, Ririn menyatakan pasrah dan tidak akan menuntut. Menuntut pun, cucu saya tidak akan dapat hidup lagi,” ujar Sunardi sambil meneteskan air mata, kemarin.

Meski tidak berniat menuntut, Sunardi berharap tragedi kematian Reza yang terjadi setelah diimunisasi itu hendaknya dapat memberikan peringatan kepada para petugas medis. Terutama petugas kesehatan di puskesmas, agar di kemudian hari bersikap peduli serta berhati-hati dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. ”Sebab anak itu sejak dari Jakarta sehat dan segar bugar. Tapi malahan meninggal setelah diimunisasi,” keluhnya.

Kepala Puskesmas Jatipurno dokter H Hambyoko, Jumat (31/3), menjelaskan, kematian Reza bukan karena imunisasi. Dia membenarkan jika balita itu mendapatkan suntikan imunisasi pertama untuk BCG dan Hepatitis B. Namun pemberian imunisasi ini telah dilakukan sesuai prosedur medis. Penyebab kematiannya, tambah Hambyoko, disebabkan adanya kelainan darah korban yang sulit membeku atau istilah medisnya hemofili.

Untuk menyelamatkan korban yang saat itu mengucurkan darah tak berhenti, tim medis telah memberikan adrenalin sebagai upaya menghentikannya.

Usaha ini berhasil, tapi selang beberapa saat kemudian terjadi pembengkakan, karena pendarahan itu berpindah di atas daging di bawah kulit. Berkait itu, korban kemudian dirujuk ke rumah sakit. Namun belum sempat tertolong, maut lebih dahulu menjemputnya. ”Penyebab kematian karena kelainan darah yang sulit membeku. Ini sebenarnya dapat dicermati dari silsilah keluarga,” kata dokter Hambyoko.

Berkait musibah itu, Hambyoko bersama tim medis puskesmas serta Camat Jatipurno Drs Yogik Subiyakto, Jumat (31/3), mendatangi rumah korban untuk memberikan pemahaman pada keluarganya. (P27-67v)

Boom! Autisme Terus Meningkat

Oleh : Elok Dyah Messwati dan Evy Rachmawati

PERKEMBANGAN autisme yang terjadi sekarang ini kian mengkhawatirkan. Mulai dari tahun 1990-an, terjadi boom autisme. Anak-anak yang mengalami gangguan autistik makin bertambah dari tahun ke tahun.

Di Amerika Serikat saat ini perbandingan antara anak normal dan autis 1:150, di Inggris 1:100, sementara Indonesia belum punya data tentang itu. Belum pernah ada survei mengenai data anak autis di Indonesia, kata Ketua Yayasan Autisme Indonesia dr Melly Budhiman SpKJ saat diskusi mengenai autisme di harian Kompas, 5 Mei 2008.

Melly Budhiman memaparkan, autisme adalah suatu gangguan neurobiologis yang terjadi pada anak di bawah umur 3 tahun. Gejala yang tampak adalah gangguan dalam bidang perkembangan: perkembangan interaksi dua arah, perkembangan interaksi timbal balik, dan perkembangan perilaku.

Autisme bisa terjadi kepada siapa saja, tidak mengenal etnis, bangsa, keadaan sosial ekonomi, dan keadaan intelektualitas orangtua. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan yang mengalami gangguan autistik adalah 4:1. Kecerdasan anak-anak autis sangat bervariasi, dari yang sangat cerdas sampai yang sangat kurang cerdas.

”Jadi kalau dulu dikatakan kalau anak autis pasti anak-anak cerdas itu tidak benar, atau anak autis itu kebanyakan retardasi mental itu juga tidak benar,” kata Melly Budhiman.

Diagnosa ditegakkan secara murni secara klinis tanpa dengan alat pemeriksaan atau bantuan apa pun. ”Jadi kalau kita mendiagnosa anak autis murni secara klinis dengan anamnese, dengan tanya jawab itu harus sangat cermat: mulai dari kehamilan, kelahiran, dan masa kecilnya,” kata Melly Budhiman.

Sebelum 3 tahun

Untuk bisa melakukan diagnosa yang tepat, tentu saja dibutuhkan ketajaman dan pengalaman klinis. Harus benar-benar diperhatikan kriteria diagnostik yang sudah disepakati oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Jadi untuk mendiagnosa autis itu sudah ada kriterianya.

”Apakah ada gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi, juga perilaku. Kriterianya sebenarnya sudah jelas,” tegas Melly Budhiman.

Menurut Melly Budhiman, diagnosa itu harus sudah ditegakkan sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Sering kali orangtua datang ke dokter dan dokter menyatakan sebaiknya menunggu hingga usia anak sudah tiga tahun, itu artinya sudah terlambat.

Sebelum tiga tahun diagnosa sudah harus ditegakkan. Deteksi dari permulaan gejala sudah bisa dilakukan jauh sebelum umur tiga tahun. Ada anak yang sudah menunjukkan gejala autisme sejak lahir, tetapi ada anak yang sudah berkembang secara normal namun kemudian berhenti berkembang, kehilangan kepandaian yang telah dicapainya dan timbul gejala-gejala autisme.

”Bila terdeteksi adanya gejala autisme pada umur berapa pun, mulailah dengan melakukan interaksi yang intensif dan pantau terus anak tersebut setiap bulan. Misalkan enam bulan, kok, anak ini tidak mau menatap mata, umur tujuh bulan juga harus terus dipantau,” kata Melly Budhiman.

Dalam hal ini semua pemeriksaan adalah untuk mencari kemungkinan pencetus. Jika si ibu waktu hamil mengalami rubela, maka sebaiknya dilakukan city scan MRI, mencarinya ke arah otak apakah ada kelainan. Jika seandainya waktu lahir si anak terlilit tali pusar sehingga kekurangan O2, bisa dilakukan MRI dan kemudian EEG.

”Jika ibu menyatakan kalau setelah divaksinasi, kondisi si anak kemudian makin mundur, kita cari apakah anak ini keracunan merkuri. Darahnya harus diperiksa untuk mencari tahu berapa kadar logam berat, logam merkuri, diperiksa rambutnya, apakah merkurinya sudah lama menumpuk di tubuh dan tidak bisa keluar, misalnya,” papar Melly Budhiman.

Setelah anak terdiagnosa, langkah berikutnya adalah melakukan assessment yang dilakukan oleh satu tim psikolog, speech therapist untuk menentukan kemampuan si anak sebenarnya di bidang apa.

”Misalnya speech-nya terbelakang, tetapi keseimbangannya bagus, bisa lari, bisa lompat. Jadi lebih penting ke speech therapy. Jika perilakunya enggak karuan, maka diberi terapi perilaku,” kata Melly Budhiman.

Terapi okupasi juga bisa diberikan untuk melatih motorik halus. ”Anak-anak ini biasanya tenaganya kuat. Jika memukul orang bisa keras sekali, tetapi kalau disuruh memegang pensil tidak bisa, maka dia perlu terapi okupasi,” kata Melly Budhiman. Yang terpenting penanganan terpadu harus diberikan kepada anak-anak autis ini.

Kecurigaan pada vaksin

Sejauh ini, belum diketahui pasti penyebab autisme. Namun, faktor genetik berperan penting pada tercetusnya gejala. Bila tidak ada kelemahan genetik, kemungkinan gejala-gejala autisme tidak tercetus. Konsep baru mengatakan, gejala autisme timbul akibat racun-racun dari lingkungan yang tidak bisa dibersihkan lantaran anak memiliki kelemahan genetik.

”Faktor pemicu autisme itu banyak, tidak mungkin satu pemicu saja. Selain keracunan logam berat, anak-anak penyandang autisme biasanya juga mengalami alergi, kondisi pencernaannya juga jelek,” kata Melly. Ada kecurigaan, salah satu faktor pencetus autisme adalah logam berat merkuri.

Di Palangkaraya, misalnya, ada pusat terapi autisme yang muridnya berjumlah hampir 200 anak. Padahal, jumlah penduduknya hanya sekitar 250.000 jiwa. Jadi, prevalensi autisme di daerah itu satu per 250 penduduk. Setelah ditelusuri, warga setempat sehari-hari mengonsumsi ikan dari Sungai Kahayan, padahal sungai itu jadi lokasi pertambangan liar emas sekaligus pembuangan merkurinya.

Repotnya, menurut Melly, banyak vaksin yang beredar di pasaran mengandung merkuri. Satu suntikan vaksin dari luar negeri biasanya merkuri yang dikandung 25 mikrogram. Bahkan, ada vaksin yang kandungan merkurinya lebih dari itu. ”Keterkaitan vaksin sebagai pencetus autisme masih jadi perdebatan di dunia internasional. Ini tentunya perlu penelitian lebih lanjut,” ujarnya.

Saat ini seorang anak hanya boleh menerima merkuri 0,1 mikrogram per kilogram berat badan. Jadi, anak Indonesia yang rata-rata memiliki bobot lahir 2,5-3 kilogram hanya boleh menerima 0,3 mikrogram. Akan tetapi, kenyataannya, sebagian bayi diimunisasi dengan vaksin yang mengandung merkuri sebanyak 25 mikrogram. ”Sekarang ada vaksin yang bebas merkuri, tapi harganya mahal,” kata Melly.

Terkait dengan isu bahwa vaksin MMR merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya autisme pada anak, Menteri Kesehatan Siti Fadilah tidak bersedia berkomentar mengenai masalah itu. ”Ini masih perlu pengkajian lebih mendalam lagi. Kami perlu mengecek apakah memang benar vaksin itu terkait dengan autis,” katanya menambahkan.

Dukungan pemerintah

Sejauh ini, pemerintah dinilai kurang memberi perhatian terhadap masalah autisme yang kian merebak di sejumlah daerah. Pelayanan terapi bagi penyandang autisme masih sangat terbatas dan biayanya relatif mahal sehingga sulit dijangkau para orangtua dari anak penyandang autisme.

Banyak orangtua yang kesulitan membesarkan dan memberikan terapi terbaik bagi anak mereka yang menyandang autisme. Jika tidak dideteksi dan diterapi dengan tepat sejak dini, gangguan perkembangan itu akan membuat anak-anak penyandang autisme itu tidak bisa mandiri, sulit berkomunikasi dan berkarya di lingkungan masyarakat.

Pada kesempatan terpisah, Siti Fadilah menegaskan, pemerintah mendukung layanan kesehatan bagi anak-anak yang menyandang autisme. Salah satunya dengan memberi penyuluhan dan menyediakan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas-puskesmas. Selain itu, pemerintah akan mengalokasikan dana untuk penanganan anak-anak berkebutuhan khusus termasuk autisme.

Namun diakui, penanganan kesehatan bagi para penyandang autisma masih belum jadi prioritas pembangunan bidang kesehatan. ”Indonesia masih disibukkan dengan pengendalian penyakit menular. Penanganan autisma masih belum jadi prioritas utama,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Depkes Lily S Sulistyowati.

Sejauh ini, pemerintah belum mampu menyediakan pusat-pusat terapi bagi penyandang autisma. Tempat-tempat pelayanan terapi masih dikelola pihak swasta dengan biaya cukup mahal. Padahal, sebagian besar penyandang autisma butuh sejumlah terapi untuk mengatasi gangguan perkembangan, terutama kemampuan komunikasi.

Mengingat meningkatnya angka kasus autisma di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, Sekretaris Jenderal Depkes Sjafii Ahmad menyatakan, Depkes berencana mendirikan Pusat Inteligensia yang menangani masalah terkait gangguan inteligensia dan perkembangan termasuk autisma. ”Nantinya, pusat inteligensia juga akan didirikan di tiap provinsi,” ujarnya.

Tentunya, janji pemerintah untuk lebih serius menangani masalah autisme ditunggu realisasinya. Bagaimanapun, para penyandang autisme merupakan anak-anak bangsa yang ikut menentukan masa depan Indonesia. Jangan sampai mereka kelak jadi generasi yang hilang.

Bocah Lima Tahun Tewas Usai Imunisasi

Seorang bocah berusia lima tahun asal Padalarang, Kabupaten Bandung, meninggal dunia dua’hari setelah diimunisasi di sebuah posyandu. Bocah tersebut, Dede Rita, meninggal Senin (5/3) pagi setelah mengalami panas tinggi dan kejang-kejang.
“Belum sempat saya bawa ke puskesmas, anak bungsu saya ini meninggal di pangkuan,” kata. Ny Ita, ibunda Dede, di RS Hasan Sadikin, Bandung. Dede meninggal sekitar pukul 05.00.
Petugas puskesmas yang akhirnya memeriksa jenazah Dede menyarankan agar jasad bocah itu dibawa ke RS Hasan Sadikin guna diautopsi agar penyebab kematian bocah tersebut jadi jelas. Menurut Ita, keluarganya menduga kematian Dede ada kaitannya dengan imunisasi yang diterima bocah itu, Jumat (2/3).
“Saat diimunisasi, kondisi anak saya dalam keadaan sehat, begitu juga pada hari Sabtu. Namun, sejak Minggu siang hingga Senin dini hari kondisi anak saya panas dan kejang-kejang, kemudian pada Senin pagi terkulai tak bergerak lagi,” katanya. Dede merupakan anak ke.lima pasangan petani Turi-Ita, warga Kampung Sukamanah, Cipatat, Padalarang. Dede disuntik vaksin di salah satu posyandu di Kampung Sukamanah yang menyelenggarakan imunisasi pada Jumat itu.
Sementara itu, seorang siswi kelas satu SD di Banten, Ita Rosita, meninggal dunia 10 hari setelah diimunisasi polio di sekolahnya. Pihak sekolah menduga tewasnya Ita akibat jarum suntik yang digunakan bergantian. Namun pihak rumah sakit menyatakan Ita meninggal akibat radang otak.
Ita meninggal dunia di RSUD Serang, Minggu (4/3) pukul 09.00 setelah tiga hari menjalani perawatan di rumah sakit tersebut. Sorenya, jenazah Ita dikebumikan sekitar 50 meter dari rumah orangtuanya di Kampung Bantuwangi, Kelurahan Sangiang, Kecamatan Mancak, Serang.
Ibunda Ita, Ny Siti Rohimah, menduga Ita meninggal akibat suntikan vaksin campak. Siti menceritakan, ketika pulang sekolah pada Rabu (22/2) siang, Ita mengeluh pusing, mata pedas, serta pegal pada tangan kiri. Putri pertama pasangan Mulyani-Siti Ronimah itu pun bercerita bahwa di sekolah dia disuntik vaksin campak dalam rangka Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
“Dia hilangnya kepala itu seperti ada yang nusuk-nusuk,” ujar Siti. Esoknya, suhu tubuh Ita panas tinggi. Namun, Ita tetap berangkat sekolah. Hari berikutnya, panas badan Ita makin tinggi sehingga siswi kelasIA SDN Sibuyung, Mancak, itu tak sanggup berangkat sekolah.
Sejauh itu, Siti hanya memberikan ramuan tradisional sebagaimana galibnya penduduk desa tersebut mengobati anak yang demam. Menurut Siti, dirinya memberikan air seduhan daun tanaman obat yang tumbuh di kampungnya yang telah diberi mantra.
Hasilnya, suhu badan Ita menurun. Namun, Kamis (1/3) malam, sulung dari dua bersaudara itu kejang-kejang, mulutnya berbusa, dan ada bintik berwarna merah di sekujur tubuhnya. Sang ayah, Mulyani (32), segera memanggil mantri Puskemas Mancak yang tinggal sekitar 200 meter dari rumahnya. Mantri tersebut menyarankan agar Ita buru-buru dibawa ke rumah sakit. “Karena peralatan di puskesmas di sini tidak memadai,” ujarnya.
lta dibawa ke RSUD Serang di ibu kota Kabupaten Serang yang perjalanannya membutuhkan waktu sekitar satu jam. Dari kota Serang, jalan terdekat ke Mancak adalah lewat jalan Serang-Anyer.
Selama dirawat di RSUD Serang, dalam sehari, Ita bisa kejang-kejang hingga lima kali. Kejang-kejang itu baru reda setelah Ita diberi obat penenang. Pada Minggu sekitar pukul 09.00, Ita meninggal dunia.
Wakil Direktur RSUD Serang, dr Boediarjo, mengatakan Ita meninggal akibat komplikasi radang otak. Boediarjo yang dihu
bungi melalui telepon genggamnya Senin (5/3) siang menambahkan pihaknya juga meneliti kaitan kematian Ita dengan imunisasi yang diterima siswi SD tersebut.
“Kepastiannya tunggu hasil penelitian tim ahli yang memeriksa kejadian ikutan pascaimunisasi,” ujarnya.
Kepala SD Sibuyung, Baehaki, yang ditemui kemarin mengatakan sekitar 280 dari 359 murid (kelas 1-6) sekolah tersebut menerima suntikan pada pelaksanaan PIN tersebut. Sedangkan sisanya kabur ketika tahu hari itu ada petugas PIN datang. “Namanya anak-anak, mendengar akan disuntik mereka langsung kabur dari sekolah,” ujar Baehaki.
Bidan Puskesmas Mancak, Rosidah, yang datang ke SDN Sibuyung mengatakan bahwa satu jarum suntik digunakan untuk satu orang. Jarum suntik itu, katanya, sudah didesain sedemikian rupa sehingga tidak bisa dipakai ulang.
Firasat akan ditinggal oleh putri kesayangannya itu sudah dirasakan Mulyani, malam sebelum Ita menjalani PIN. Sopir angkutan jurusan Cilegon-Mancak itu bermimpi dikejar dan diseruduk sejumlah kerbau. Saat bertanya ke orang pintar, pria yang sudah 17 tahun jadi sopir angkutan umum itu mendapat jawaban bahwa mimpi itu menandakan ada anggota keluarganya yang akan terserang penyakit. (nir/Ant)

SALING LEMPAR TANGGUNGJAWAB Bahkan Disdikpora Belum Tahu Kasus Suci

PEKANBARU (RiauInfo) - Sudah dapat dipastikan bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, semua instansi akan saling lempar tanggungjawab. Begitu pula halnya dengan kasus Suci, siswa kelas 1 SD 017 Bukitraya, Pekanbaru yang lumpuh setelah diimunisasi.

Bahkan Kadisdikpora Pekanbaru, Drs Syahril Manaf ketika dihubungi wartawan mengaku belum tahu kasus yang menimpa Suci itu. “Saya belum mendapatkan laporan atas kasus tersebut,” ungkap dia seperti dirilis oleh Metro Riau.

Karena belum adanya laporan itu dia mengaku belum bisa memberikan komentar lebih jauh. Sebab dia perlu melakukan pengecekan ke bawahannya, misalnya ke Kepala Cabang Dinas Bukitraya.

Sementara itu Kepala Cabang Dinas Bukitraya, Agussalim SPd ketika dihubungi wartawan mengatakan pihaknya telah memanggil Kepala SD 017 Bukitraya Dra Netti Herawati guna meminta keterangan berkisar kasus tersebut.

Namun dari hasil pemanggilan itu, Kepsek bersangkutan mengaku belum mendapatkan laporan dari orangtua korban. Karena itu dia belum bisa memberikan tanggapan terhadap kasus itu.

Kadis Kesehatan Pekanbaru, Syaiful Rab belum bisa dihubungi. Namun sebelum kasus ini terjadi Syaiful kepada RiauInfo pernah mengatakan bahwa bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat imunisasi yang dilakukan di sekolah, silahnya menuntut menteri kesehatan.

Menurut dia, program imunisasi campak yang dilakukan terhadap anak-anak, termasuk di sekolah-sekolah itu merupakan program nasional. “Kami di daerah hanya menjalankan tugas saja,” ungkapnya kala itu.(Ad)