Oleh: Ust. Musyaffa, Lc
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
… Dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah …
Ini adalah kalimat keempat dari hadits Arba’in An-Nawawiyah yang ke sembilan belas. Atau disebut juga kalimat keempat dari wasiat (wejangan) Rasulullah saw kepada Abdullah bin Abbas ra. Tentunya, juga merupakan wasiat untuk seluruh umat Islam dan bahkan umat manusia seluruhnya.
Isti’anah dalam Islam
Kalimat keempat dalam hadits Arba’in yang ke-19 kata kuncinya adalah isti’anah, yang terambil dari kata ista’anta, fasta’in. Secara bahasa, isti’anah berarti meminta pertolongan.
Namun, dalam Islam, isti’anah mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Hal ini dikarenakan kata ini terdapat dalam surat Al-Fatihah, surat pertama dalam Mushaf Al-Qur’an Al-Karim, sedangkan surat Al-Fatihah mengandung muatan global seluruh Al-Qur’an.
Dalam surat Al-Fatihah ini Allah – subhanahu wa ta’ala – berfirman: “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (QS Al-Fatihah: 5)
Penjelasan tentang kedudukan isti’anah dalam Islam adalah sebagai berikut:
Pada ayat 5 surat Al-Fatihah tersebut Allah swt mengajarkan kepada hamba-Nya untuk menyatakan bahwa mereka hanya menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah swt semata. Hal ini sejalan dan sesuai dengan maksud dan tujuan penciptaan Jin dan Manusia, yaitu agar mereka mengabdikan dan menyembah Allah semata. (QS Adz-Dzariyat: 56).
Tugas pengabdian dan ibadah hanya kepada Allah swt ini tidaklah ringan, dan manusia sebagai makhluk yang lemah (QS An-Nisa’: 28), penuh kezhaliman dan kebodohan (QS Al-Ahzab: 72), tentulah tidak akan mampu memenuhi tugas dan tanggung jawab yang sangat besar dan berat ini.
Untuk itulah, Allah mengajarkan agar para hamba-Nya meminta pertolongan (ber-isti’anah) kepada Allah swt dan menyatakan bahwa mereka hanya meminta pertolongan ini kepada-Nya.
Dengan demikian, isti’anah ini memiliki kedudukan yang sangat penting dan strategis, sebab ia merupakan sarana atau jalan untuk mensukseskan misi, tugas dan tanggung jawab manusia sebagai hamba, pengabdi dan penyembah Allah swt. Dan sekiranya sarana atau jalan ini tidak ditempuh, niscaya akan gagallah misi, tugas dan tanggung jawabnya.
Untuk inilah, Rasulullah saw mengajarkan kepada Mu’adz bin Jabal – dan tentunya kepada kita semua – agar setiap selesai shalat, merutinkan dzikir: Ya Allah, berilah aku pertolongan untuk mengingat-Mu, mensyukuri-Mu dan baik dalam beribadah kepada-Mu (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud [1301] dan An-Nasa-i [1286]).
Hubungan manusia dengan ibadah dan isti’anah
Untuk lebih menjelaskan tentang masalah isti’anah dan kedudukannya dalam Islam, ada baiknya diketahui hubungan manusia dengan ibadah dan isti’anah.
Terkait dengan hal ini, manusia dapat diklasifikasi dalam empat kelompok, yaitu:
Pertama: Ahli Ibadah dan Ahli Isti’anah. Maksudnya, mereka menjalankan misi, tugas dan fungsinya sebagai hamba dengan baik, sekaligus baik juga dalam masalah isti’anah. Kelompok inilah yang dikehendaki oleh QS Al-Fatihah: 5.
Kedua: Ahli Ibadah, namun bukan Ahli Isti’anah. Maksudnya, mereka menyadari misi, tugas dan tanggung jawab sebagai hamba Allah, namun, mereka tidak ber-isti’anah kepada Allah dalam menjalankan misi, tugas dan tanggung jawabnya ini. Akibat yang didapat dari tidak ber-isti’anah ini adalah:
• Cepat lelah, sebab dalam menjalankan misi, tugas dan tanggung jawabnya ia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah swt.
• Tidak merasakan kenikmatan dan keindahan beribadah, sebab ia lebih memandang ibadah sebagai beban semata. Akan tetapi, bagi mereka yang mendapatkan isti’anah dari Allah maka ibadah menjadi ringan dan karenanya ia akan merasakan nikmat dan indah dalam beribadah.
Ketiga: Bukan ahli ibadah dan bukan pula ahli isti’anah. Maksudnya, kelompok ini tidak mau beribadah kepada Allah swt dan juga tidak ber-isti’anah kepada-Nya. Kelompok ini seperti Iblis, bahkan lebih buruk dari Iblis - na’udzu billah min dzalik- sebab Iblis masih mau “ber-isti’anah” walaupun hanya dalam batas “kepentingan dan keuntungan” pribadinya semata. Iblis “ber-iti’anah” kepada Allah agar ia diberi umur panjang sampai kiamat agar lebih memungkinkan baginya untuk menyesatkan manusia lebih banyak lagi. A’adzanallah minhu wa min junudihi.
Keempat: Bukan Ahli Ibadah, akan tetapi “Ahli Isti’anah”. Maksudnya adalah bahwa kelompok ini tidak mau beribadah kepada Allah swt, namun terkadang mereka “ber-isti’anah”. Misalnya adalah para pencuri yang jelas-jelas menentang ajaran Allah, namun terkadang atau malah sering, sebelum mencuri mereka “meminta tolong” kepada Allah agar prosesi mencurinya tidak tertangkap misalnya. Mirip juga dengan kisah para koruptor yang jelas-jelas melanggar aturan Allah, namun sering sekali mereka berbuat baik kepada anak-anak yatim dan meminta tolong kepada mereka agar mereka mendo’akan para koruptor itu agar tetap berjaya, naik karir dan mulus semua urusannya.
Bai’at untuk beristi’anah kepada Allah
Para pengulas hadits arba’in selalu mengaitkan hadits ini dengan kenyataan bahwa Nabi Muhammad saw mengambil bai’at dari para sahabatnya agar mereka tidak meminta pertolongan (ber-isti’anah) kepada siapapun kecuali kepada Allah swt. Di antara sahabat yang dibai’at dengan hal ini adalah: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Dzar dan Tsauban ra.
Dikisahkan bahwa salah seorang dari mereka, pada suatu hari cemeti atau tali pengekang untanya terjatuh, karena sudah berbai’at untuk tidak meminta pertolongan (isti’anah) kepada siapapun selain Allah swt, maka mereka pun tidak meminta pertolongan kepada seorang pun manusia untuk mengambilkan cemeti atau tali pengekang unta itu (HR Muslim [1043]).
Jangan merasa tak mampu
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda: “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap segala hal yang bermanfaat bagimu dan meminta tolonglah kepada Allah dan jangan merasa tidak mampu. Dan jika engkau tertimpa suatu musibah, jangan berkata: ‘kalau saja aku berbuat begini dan begini niscaya akan begini dan begini’, akan tetapi, katakanlah: ‘sudah menjadi takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti dilakukan-Nya’, sebab, “kalau saja-kalau saja” itu membuka pekerjaan bagi syetan. (Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim [4816].
Inilah sebagian pelajaran yang bisa kita ambil dari wasiat Rasulullah saw ini. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendengarkan perkataan yang baik, lalu mengikutinya. Amiin.
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
… Dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah …
Ini adalah kalimat keempat dari hadits Arba’in An-Nawawiyah yang ke sembilan belas. Atau disebut juga kalimat keempat dari wasiat (wejangan) Rasulullah saw kepada Abdullah bin Abbas ra. Tentunya, juga merupakan wasiat untuk seluruh umat Islam dan bahkan umat manusia seluruhnya.
Isti’anah dalam Islam
Kalimat keempat dalam hadits Arba’in yang ke-19 kata kuncinya adalah isti’anah, yang terambil dari kata ista’anta, fasta’in. Secara bahasa, isti’anah berarti meminta pertolongan.
Namun, dalam Islam, isti’anah mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Hal ini dikarenakan kata ini terdapat dalam surat Al-Fatihah, surat pertama dalam Mushaf Al-Qur’an Al-Karim, sedangkan surat Al-Fatihah mengandung muatan global seluruh Al-Qur’an.
Dalam surat Al-Fatihah ini Allah – subhanahu wa ta’ala – berfirman: “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (QS Al-Fatihah: 5)
Penjelasan tentang kedudukan isti’anah dalam Islam adalah sebagai berikut:
Pada ayat 5 surat Al-Fatihah tersebut Allah swt mengajarkan kepada hamba-Nya untuk menyatakan bahwa mereka hanya menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah swt semata. Hal ini sejalan dan sesuai dengan maksud dan tujuan penciptaan Jin dan Manusia, yaitu agar mereka mengabdikan dan menyembah Allah semata. (QS Adz-Dzariyat: 56).
Tugas pengabdian dan ibadah hanya kepada Allah swt ini tidaklah ringan, dan manusia sebagai makhluk yang lemah (QS An-Nisa’: 28), penuh kezhaliman dan kebodohan (QS Al-Ahzab: 72), tentulah tidak akan mampu memenuhi tugas dan tanggung jawab yang sangat besar dan berat ini.
Untuk itulah, Allah mengajarkan agar para hamba-Nya meminta pertolongan (ber-isti’anah) kepada Allah swt dan menyatakan bahwa mereka hanya meminta pertolongan ini kepada-Nya.
Dengan demikian, isti’anah ini memiliki kedudukan yang sangat penting dan strategis, sebab ia merupakan sarana atau jalan untuk mensukseskan misi, tugas dan tanggung jawab manusia sebagai hamba, pengabdi dan penyembah Allah swt. Dan sekiranya sarana atau jalan ini tidak ditempuh, niscaya akan gagallah misi, tugas dan tanggung jawabnya.
Untuk inilah, Rasulullah saw mengajarkan kepada Mu’adz bin Jabal – dan tentunya kepada kita semua – agar setiap selesai shalat, merutinkan dzikir: Ya Allah, berilah aku pertolongan untuk mengingat-Mu, mensyukuri-Mu dan baik dalam beribadah kepada-Mu (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud [1301] dan An-Nasa-i [1286]).
Hubungan manusia dengan ibadah dan isti’anah
Untuk lebih menjelaskan tentang masalah isti’anah dan kedudukannya dalam Islam, ada baiknya diketahui hubungan manusia dengan ibadah dan isti’anah.
Terkait dengan hal ini, manusia dapat diklasifikasi dalam empat kelompok, yaitu:
Pertama: Ahli Ibadah dan Ahli Isti’anah. Maksudnya, mereka menjalankan misi, tugas dan fungsinya sebagai hamba dengan baik, sekaligus baik juga dalam masalah isti’anah. Kelompok inilah yang dikehendaki oleh QS Al-Fatihah: 5.
Kedua: Ahli Ibadah, namun bukan Ahli Isti’anah. Maksudnya, mereka menyadari misi, tugas dan tanggung jawab sebagai hamba Allah, namun, mereka tidak ber-isti’anah kepada Allah dalam menjalankan misi, tugas dan tanggung jawabnya ini. Akibat yang didapat dari tidak ber-isti’anah ini adalah:
• Cepat lelah, sebab dalam menjalankan misi, tugas dan tanggung jawabnya ia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah swt.
• Tidak merasakan kenikmatan dan keindahan beribadah, sebab ia lebih memandang ibadah sebagai beban semata. Akan tetapi, bagi mereka yang mendapatkan isti’anah dari Allah maka ibadah menjadi ringan dan karenanya ia akan merasakan nikmat dan indah dalam beribadah.
Ketiga: Bukan ahli ibadah dan bukan pula ahli isti’anah. Maksudnya, kelompok ini tidak mau beribadah kepada Allah swt dan juga tidak ber-isti’anah kepada-Nya. Kelompok ini seperti Iblis, bahkan lebih buruk dari Iblis - na’udzu billah min dzalik- sebab Iblis masih mau “ber-isti’anah” walaupun hanya dalam batas “kepentingan dan keuntungan” pribadinya semata. Iblis “ber-iti’anah” kepada Allah agar ia diberi umur panjang sampai kiamat agar lebih memungkinkan baginya untuk menyesatkan manusia lebih banyak lagi. A’adzanallah minhu wa min junudihi.
Keempat: Bukan Ahli Ibadah, akan tetapi “Ahli Isti’anah”. Maksudnya adalah bahwa kelompok ini tidak mau beribadah kepada Allah swt, namun terkadang mereka “ber-isti’anah”. Misalnya adalah para pencuri yang jelas-jelas menentang ajaran Allah, namun terkadang atau malah sering, sebelum mencuri mereka “meminta tolong” kepada Allah agar prosesi mencurinya tidak tertangkap misalnya. Mirip juga dengan kisah para koruptor yang jelas-jelas melanggar aturan Allah, namun sering sekali mereka berbuat baik kepada anak-anak yatim dan meminta tolong kepada mereka agar mereka mendo’akan para koruptor itu agar tetap berjaya, naik karir dan mulus semua urusannya.
Bai’at untuk beristi’anah kepada Allah
Para pengulas hadits arba’in selalu mengaitkan hadits ini dengan kenyataan bahwa Nabi Muhammad saw mengambil bai’at dari para sahabatnya agar mereka tidak meminta pertolongan (ber-isti’anah) kepada siapapun kecuali kepada Allah swt. Di antara sahabat yang dibai’at dengan hal ini adalah: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Dzar dan Tsauban ra.
Dikisahkan bahwa salah seorang dari mereka, pada suatu hari cemeti atau tali pengekang untanya terjatuh, karena sudah berbai’at untuk tidak meminta pertolongan (isti’anah) kepada siapapun selain Allah swt, maka mereka pun tidak meminta pertolongan kepada seorang pun manusia untuk mengambilkan cemeti atau tali pengekang unta itu (HR Muslim [1043]).
Jangan merasa tak mampu
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda: “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap segala hal yang bermanfaat bagimu dan meminta tolonglah kepada Allah dan jangan merasa tidak mampu. Dan jika engkau tertimpa suatu musibah, jangan berkata: ‘kalau saja aku berbuat begini dan begini niscaya akan begini dan begini’, akan tetapi, katakanlah: ‘sudah menjadi takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti dilakukan-Nya’, sebab, “kalau saja-kalau saja” itu membuka pekerjaan bagi syetan. (Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim [4816].
Inilah sebagian pelajaran yang bisa kita ambil dari wasiat Rasulullah saw ini. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendengarkan perkataan yang baik, lalu mengikutinya. Amiin.