12 November 2008

Eksekusi Amrozi,Timbulkan Radikalisme dari Pengagumnya

Eksekusi yang dilaksanakan terhadap tiga terpidana mati Bom Bali I, Minggu (9/11) lalu, dinilai PDIP kemungkinan akan mendorong radikalisme tumbuh subur. Karena kematian Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Ghufron, dianggap syahid oleh pengagumnya.

�Dulu nggak ada yang berani bilang saya mujahidin. Tiga mati 3.000 tumbuh. Bak pahlawan ini,� kata Ketua Fraksi PDIP DPR Tjahjo Kumolo, usai penataran jurkamnas PDIP, di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, Selasa (11/11).

PDIP mengakui telah terjadi pro dan kontra di tengah masyarakat mengenai pelaksanaan hukuman mati itu. Hal ini, terbukti dengan adanya penundaan eksekusi dari rencana sebelumnya.

Namun, partai moncong putih itu menilai eksekusi terhadap Amrozi Cs merupakan langkah tepat dalam penegakan hukum di Indonesia. �Biar masyarakat yang menilai. Saya hanya melihat bahwa correct (tepat). Tidak mau ada celah sedikitpun yang nanti disalahkan,� kata Tjahjo.

PDIP mengakui adanya aspek menyangkut bantuan luar negeri untuk pemberantasan terorisme di Indonesia.

�Jujur saja, baik Australia maupun Amerika bantuannya untuk pembasmian terorisme tinggi sekali,� ujarnya.
(dakta.com)

Laskar di vonis, Bripka Iskandar Entah Kemana ?

Panglima Laskar Pembela Islam (LPI) Muhammad Mahsuni Kaloko bersama tujuh anggotanya divonis masing-masing satu tahun penjara. Putusan ini dibacakan Majelis Hakim pimpinan Sir Djohan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (10/11).

Putusan pada para laskar Islam ini menyusul vonis atas Ketua Umum FPi Habib Rizieq Shihab dan Panglima KLI yang lebih dulu dijatuhi hukuman 2 tahun penjara pada kasus Insiden Monas 1 Juni 2008 lalu.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan para terdakwa yang diadili secara terpisah ini terbukti melanggar pasal 170 ayat 2 ke satu jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Mereka dianggap melakukan tindak kekerasan terhadap orang dan perusakan barang di muka umum.

Dalam instruksi melalui pesan pendek (SMS), Mahsuni menyuruh 200 anggota LPI untuk berunjuk rasa menentang kenaikan harga bahan bakar di Istana Negara. Namun sebelum tiba di lokasi, Mahsuni mengetahui ada aksi AKKBB di kawasan Monas.


Apa Kabar Polisi Ahmadiyah Pembawa Pistol?

Sementara itu, tak pernah terdengar lagi pemberitaan mengenai seseorang dari massa AKKBB yang tertangkap kamera membawa psitol dan melakukan provokasi di tengah-tengah keributan pada insiden Monas 1 Juni lalu.

Sebelumnya, pihak kepolisian mengaku telah menangkap Bripka Iskandar Saleh setelah fotonya yang sedang membawa pistol muncul di media massa. Kadiv Humas Polda Metro Jaya Irjen Abubakar Nataprawira menjelaskan Iskandar ditangkap petugas dari provost pada Senin 23 Juni 2008 di rumahnya di Tangerang.

Achmad Michdan, advokat dari TPM pernah menyampaikan pada Suara Islam bahwa warga sekitar rumah tinggal Iskandar tahu bahwa dia merupakan anggota aktif Ahmadiyah kota Tangerang. Pada insiden Monas, Iskandar ikut rombongan dari AKKBB setelah mendapatkan undangan dari pengurus Ahmadiyah setempat.

Pihak kepolisian sendiri juga mengaku sudah melakukan pemeriksaan pada yang bersangkutan di Mapolda Metro Jaya. Akan tetapi, hingga kini tak jelas proses hukumnya sampai sejauh mana. Demikian juga dengan para aktivis AKKBB dan aktor intelektual yang berada di belakangnya. Seolah-olah hukum tak dapat menyentuh mereka. Atau jangan-jangan hukum yang berlaku di negeri ini hanya untuk memukul para aktivis dan pejuang Islam.

(www.suara-islam.com)

RS.Mitra Bekasi Akhirnya Larang Karyawati Berjilbab!

Wine Dwi Mandella. Nama gadis ini mengingatkan pada mantan istri tokoh pejuang diskriminasi rasial di Afrika Selatan. Gadis inipun gigih melawan diskriminasi yang dialaminya di Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi Barat, Jawa Barat. Bukan diskriminasi rasial, memang, tapi diskriminasi mengenakan pakaian sesuai hati nurani: jilbab.

Apa yang dialami Wine bukan terjadi pada era 1980-an, ketika cengkeraman Islamophobia masih kuat. Wine justru mengalami perlakuan itu pada 2008, ketika Islamophobia telah lama mundur dari pentas; ketika karyawati berjilbab sudah menjadi pemandangan biasa.

Kisah malang yang menimpa Wine terjadi tujuh bulan lalu. Ketika itu, perawat di Bagian Fisioterapi, Departemen Rehab Medik, RS Mitra, ini, masuk kantor mengenakan pakaian dinas yang dilengkapi jilbab dan manset. ''Saya absen pukul 08.00 WIB. Pukul 09.00, saya dipaksa membuat surat pengunduran diri,'' tutur gadis 26 tahun ini, getir.

RS Mitra menganggap gadis berusia 26 tahun ini melanggar peraturan perusahaan pasal 17 ayat 4.2 yang isinya: ''Memakai pakaian seragam kerja yang telah ditetapkan berikut perlengkapannya yang sesuai dengan perlengkapan di unit kerja masing-masing.''

Wine sempat bersitegang dengan Manager HRD RS Mitra, E Setyodewi. ''Saya menggunakan pakaian seragam kerja. Hanya saya tambahkan manset warna kulit, serta jilbab warna rambut (hitam), agar tidak terlalu mencolok,'' katanya.

Tapi, Wine mengaku terus ditekan. ''Dewi bicara dengan mata melotot, berkacak pinggang, dan sambil menggebrak meja dia mengancam akan mem-black list nama saya dari seluruh rumah sakit di Jakarta.''
Wine kemudian dipaksa membuat surat pengunduran diri. ''Saat itu saya membuat surat pengunduran diri dengan alasan dikeluarkan karena tidak boleh menggunakan jilbab saat bekerja,'' katanya kepada Republika di rumahnya, di bilangan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Tapi, Setyorini menilai pernyataan Wine terlalu ekstrem. Wine kemudian diminta membuat surat pengunduran diri tanpa disertai alasan. Wine menolak. Dia meninggalkan tempat itu usai meninggalkan kartu pegawai, kartu HMO (kartu berobat), dan kunci loker yang dirampas.

Selanjutnya, RS Mitra mengirimkan surat beberapa kali ke rumah Wine, diakhiri dengan surat keputusan bahwa Wine dianggap telah mengundurkan diri karena mangkir selama lima hari kerja tanpa keterangan. ''Sudah jelas ini permainan pihak rumah sakit, karena mereka tidak mau melakukan pemecatan pada karyawannya,'' kata anak kedua dari empat bersaudara ini.

Buka-pasang
Wine menjadi karyawan RS Mitra sejak 2004. Dia mulai mengenakan jilbab pada 2005. Karena RS Mitra melarang perawatnya berjilbab, selama tiga tahun dia hanya mengenakan jilbab saat berangkat dan pulang kerja. ''Batin saya terus bergolak, namun tak berani melawan,'' kata Wine.

April 2008, Wine menunaikan ibadah umrah bersama keluarga. Saat itulah, Wine mendapatkan ketetapan hati untuk berjilbab dalam segala keadaan. Tapi, baru satu hari mengenakan jilbab, vonis pun jatuh.

Diperlakukan tidak adil, Wine mengontak Tim Pengacara Muslim (TPM). Anggota TPM, Budi Santoso, menilai RS Mitra tidak adil. ''Mereka tidak mau memecat karyawan karena tidak ingin namanya jelek di mata masyarakat yang mayoritas Muslim. Atau, bahkan enggan memberi pesangon,'' kata Budi.

Kepala Disnaker Kota Bekasi, Agus Darma Suwandi, mengatakan RS Mitra telah menerapkan aturan yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Dia menilai, Wine telah memenuhi ketentuan berseragam di RS itu, meski ditambah jilbab dan manset. ''Lagi pula, tidak ada aturan spesifik pekerja dilarang mengenakan jilbab,'' kata Agus.

Kendati merasa mulai enggan kembali bekerja di RS Mitra, dia kini ingin memperjuangkan sesuatu yang melebihi kepentingannya. ''Teman-teman ingin berjilbab, namun mereka takut. Saya kasihan melihat kebebasan kita diinjak-injak. Maka, saya memutuskan untuk berjuang bagi mereka,'' kata Wine.

Ayah Wine, Ridwan Santoso, mengaku akan terus memerkarakan masalah yang menimpa Wine hingga RS Mitra mengizinkan karyawannya berjilbab. ''Kami dizalimi. Pihak RS sangat arogan. Kami akan terus berjuang demi tegaknya kebenaran,'' kata Ridwan.

Sampai pekan lalu, Setyodewi tetap berkeras bahwa Wine-lah yang mengundurkan diri karena tak dapat mematuhi aturan perusahaan. Setyodewi menyatakan Wine akan kembali diterima bekerja di Grup RS Mitra dengan berjilbab. ''Maka, permasalahan kami anggap telah selesai,'' ungkap Dewi dalam press release, Ahad (30/11).

Ke pengadilan
Kemarin, Senin (10/11), kembali dilakukan pertemuan antara Komisi D DPRD, Disnaker, Wine, TPM, dan RS Mitra. Sedianya, pertemuan itu menjadi pertemuan pamungkas. Tapi, kasus ini malah berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Pengacara RS Mitra, Sonny Martakusuma, mengatakan kasus Wine hanya masalah persepsi. ''Pihak Wine merasa di-PHK, sedangkan RS Mitra menganggap Wine resign,'' katanya. Dia menilai masalah tersebut murni masalah ketenagakerjaan, bukan diskriminasi.

Mengenai penerimaan Wine untuk kembali bekerja, Sonny menjelaskan bahwa jabatan lama Wine di RS Mitra sudah diisi orang lain. Wine, kata dia, akan dipekerjakan kembali --dengan mengenakan jilbab dan manset-- di perusahaan lain yang juga satu grup dengan RS Mitra. Perusahaan tersebut bergerak di bidang penyedia kebutuhan rumah sakit mitra grup, yaitu PT Estetika Interpresindo.

Menurut Sony, Wine akan tetap menerima gaji dan seluruh fasilitas, termasuk promosi, seperti sediakala. ''Mutasi ini tidak ada hubungannya dengan jilbab,'' katanya. Sonny juga mengatakan RS Mitra hanya membicarakan Wine, dan bukan pekerja lainnya.

TPM dan Wine menolak tawaran itu. Budi Santoso meminta Wine dipekerjakan kembali sebagai karyawan Bagian Fisioterapi RS Mitra, sesuai keahliannya. Selain itu, TPM juga mengatakan bahwa perilaku diskriminatif masih terjadi jika pemakaian jilbab hanya untuk Wine.

Thorik A Thalib dari TPM menilai persoalan Wine, mau tidak mau, sudah berkembang menjadi persoalan keyakinan bersama yang diganggu. Dia mempertanyakan motif RS Mitra yang terkesan memperpanjang persoalan. ''Sepertinya RS Mitra beriktikad abu-abu.''

Tarik-ulur yang dilakukan RS Mitra tersebut membuat persoalan Wine memang bukan persoalan pribadi lagi. Kini, mulai bermunculan solidaritas membela hak-hak berjilbab. Kemarin, puluhan orang yang mengatasnamakan diri Forum Peduli Jilbab (FPJ), melakukan aksi. Mereka menuntut RS Mitra memperbolehkan tenaga kerja memakai jilbab.

Kadisnaker Bekasi, Agus Darma Suwandi, menyatakan mutasi tidak boleh dilakukan agar karyawan tidak kerasan dan keluar dari perusahaan. ''Seragam itu wajib, jilbab itu hak, jadi seharusnya RS Mitra memerhatikan hak seluruh pekerjanya,'' tandas Agus.

(Republika)