Ia mampu mempertahankan disertasinya di depan tim penguji dan mendapatkan nilai summa cum laude. Disertasinya berhak dicetak dan disebarluaskan ke seluruh negara-negara Islam dan Arab di Timur Tengah karena dianggap bermanfaat bagi perkembangan pendidikan Islam di dunia.
Oleh Rivai Hutapea
Khairan M Arif dilahirkan tanggal 29 Juli 1972 di Palu, Sulawesi Tengah. Ia dilahirkan dari keluarga santri yang taat menjalankan ajaran Islam. Kedua orang tuanya adalah orang yang terpandang di kampungnya. Ayahnya Muhammad Arif dikenal sebagai ulama di desanya. Ia sering berkeliling ke beberapa kecamatan untuk menyiarkan Islam.
Ibunya Siti Zainab jebolan SR dan sekolah agama di al-Khairat, Palu. Keduanya menanamkan pendidikan Islam yang luar biasa kepada anak-anaknya. Mereka sangat marah jika ada anaknya yang meninggalkan shalat. Bahkan ayahnya akan memukul mereka jika ketahuan sehari saja tidak mengaji al-Qur’an.
Kerja keras Muhammad Arif-Siti Zainab ternyata membuahkan hasil. Berkat didikan kerasnya tersebut, kedelapan orang anaknya menjadi ustadz. Hampir semua anaknya mengenyam pendidikan perguruan tinggi Islam. Bahkan salah seorang anaknya Khairan M Arif mengambil master dan doktor di Dual University, Mesir. “Aktivitas kedua orangtua saya sangat berpengaruh pada kami hingga saat ini,” ujar Khairan M Arif saat ditemui Rivai Hutapea dari Sabili.
Masa kecil laki-laki yang murah senyum ini dihabiskan di kampung halamannya, Palu, Sulawesi Tengah. Usai menamatkan madrasah tsanawiyah al-Khairat 1990, ia langsung masuk ke madrasah aliyah al-Khairat dan menyelesaikan sekolahnya tahun 1993.
Panggilan hati mengantarkannya terbang ke ibukota Jakarta untuk mengikuti pendidikan agama di LIPIA pada tahun 1993. Setahun kemudian, Khairan M Arif masuk ke Ma’had Aly al-Khairat sampai tahun 1997.
Tahun 1997, laki-laki yang tegas memegang prinsip ini melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam al-Hikmah, Cilangkap, dan menyelesaikannya pada tahun 1999. Seakan tak mau waktunya terbuang, usai pendidikan, ia langsung mengamalkan ilmunya sebagai guru di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) al-Khairat, Jakarta.
Panggilan menimba ilmu ternyata lebih mendominasi dirinya daripada mengajar. Pada 2001 ia melanjutkan studi master ke negeri Piramida, Mesir dan diterima di Dual University atau Universitas Liga Arab, sebuah universitas yang didirikan oleh 22 negara Arab.
Ia menyelesaikan program S2 pada 2005 dengan judul tesis gagasan-gagasan pendidikan Islam menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Puji syukur kepada Allah SWT tak putus dipanjatkan pria berkata mata ini saat itu sebab tim penguji memberikan nilai cum laude untuk tesisnya. Lebih bersyukur lagi karena tesisnya tersebut berhak dicetak di Mesir dan disebarkan ke negara-negara Islam dan Arab karena dianggap bermanfaat dalam kajian Islam di Timur Tengah.
Menimba ilmu lebih dalam lagi adalah cita-cita mulia suami Ernawati, perempuan idamannya yang telah melahirkan tiga orang jundi ini. Setahun kemudian, tepatnya tahun 2006, ia kembali ke Mesir untuk melanjutkan studi doktor di universitas yang sama, yaitu Dual University dengan judul disertasi perkembangan dan revitalisasi universitas-universitas Islam di Indonesia.
Selama satu tahun lima bulan, ia kembali ke Indonesia untuk mencari bahan-bahan penulisan disertasinya. Pada tanggal 2 September 2007, ayah tiga orang anak ini kembali ke Mesir untuk menulis disertasinya. Hanya dalam waktu tujuh bulan, ia mampu merampungkan disertasinya dan disidangkan secara terbuka pada tangal 15 Mei 2008 lalu.
Kerja keras Khairan ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Selain mampu menyelesaikan disertasinya dalam waktu singkat, lagi-lagi ia pun mendapatkan nilai tertinggi untuk disertasinya, yaitu summa cum laude. Karena itu, disertasinya berhak diperbanyak dan disebarluaskan ke semua negara-negara Islam dan Arab di Timur Tengah karena dianggap memberikan kontribusi positif bagi perkembangan pendidikan dunia. “Alhamdulillah, ini adalah karunia Allah SWT,” katanya penuh syukur.
Wajah Pendidikan Islam Indonesia
Khairan berpendapat bahwa pendidikan di universitas, khususnya universitas Islam sangat berpengaruh bagi perkembangan masyarakat di sebuah negara. Jika pendidikannya bermutu, maka sumber daya manusianya di negara tersebut pun akan berkualitas. Karena itu, ia berpendapat kunci utama perbaikan SDM adalah dengan meningkatkan kualitas universitasnya. “Universitas adalah pabrik SDM yang berpengaruh,” ujarnya.
Dalam disertasinya, Khairan menulis ada enam pokok persoalan universitas Islam di Indonesia yang membuat pendidikan Islam itu tak berpengaruh positif bagi perkembangan umat. Diantaranya, visi dan misinya tak jelas. Menurutnya, pendidikan Islam, seperti UIN, IAIN, STAI tak jelas mendalami ilmu agama atau umum. Ketika mendalami keduanya, konsentrasi pendidikan terpecah sehingga menghasilkan alumni yang berada di persimpangan jalan, tak menguasai ilmu agama dan umum.
Kedua, kurikulumnya sangat sentralistik. Apalagi, menurutnya, 60% kurikulum pendidikan tinggi Islam di Indonesia dibuat oleh orang-orang Departemen Agama yang kurang mendalami realita yang dibutuhkan oleh masyarakat. Khairan juga memandang Sistem Kredit Semester (SKS) yang diterapkan di perguruan tinggi Islam, kurang tepat sasaran karena sistem itu tidak pas untuk program ilmu-ilmu agama. “SKS hanya tepat untuk program eksakta dan bermasalah jika diterapkan ke ilmu-ilmu agama,” tegasnya.
Di samping itu juga, kualitas tenaga pengajar perguruan tinggi Islam sangat jauh tertinggal jika dibanding di negara-negara Islam dunia. Di negeri-negeri Islam menurutnya, sangat jarang staf pengajar yang bergelar S1 dan master karena rata-rata mereka bergelar doktor. Tapi, di Indonesia sebaliknya, sebagian besar staf pengajarnya malah bergelar S1 dan master, jarang yang S3. “Ini jelas mempengaruhi kualitas pendidikan Islam,” tandasnya.
Minimnya pengalaman mengajar para staf pengajar menjadi persoalan berikutnya yang tak kalah berbobotnya menyebabkan terpuruknya pendidikan Islam di Indonesia. Ini disebabkan hampir semua tenaga pengajar di universitas Islam jarang mengikuti pelatihan dan seminar bermutu di luar negeri. Padahal, perkembangan di dunia pendidikan sangat cepat dari tahun ke tahun.
Khairan membandingkannya dengan Mesir. Di sana katanya, hampir setiap bulan sekali pihak universitas menggelar seminar pendidikan internasional dan semua staf pengajar wajib mengikutinya. Karena itu, wajar jika mereka memiliki wawasan yang luas tentang pendidikan Islam.
Membangun Universitas Islam Bermutu
Seperti yang lainnya, Khairan juga memiliki cita-cita. Selain menginfakkan dirinya untuk dakwah Islam, ia juga bercita-cita untuk membangun universitas Islam yang jelas visi misinya dan sekaliber universitas ternama dunia, seperti al-Azhar, Madinah Munawarah dan lainnya.
Hal itu menurut Khairan bukan isapan jempol belaka. Sangat mungkin terwujud asal ada kerjasama semua pihak, baik pemerintah, pengusaha, ulama dan masyarakat sendiri. Sehingga, dari sana akan lahir para dai dan mujahid besar sekelas al-Ghazali. Di sisi lain, dari situ pula kecil kemungkinan keluar alumni-alumni yang berpendapat berdasarkan hawa napsu dan pikirannya semata, seperti kaum liberal yang mulai bermunculan belakangan ini.(Sabili.ci.id)